Samuel Warella

Senin, 26 September 2011

Narasi Damai Di Tengah Keganasan Informasi Konflik Ambon 11 September 2011 (Ronny Tamaela)

Narasi Damai Di Tengah Keganasan Informasi Konflik Ambon 11 September 2011

oleh Ronny Tamaela pada 20 September 2011 jam 3:24
mahasiswa PPs program studi agama dan kebudayaan teologi UKIM.
Katong Basudara Lintas Iman

Kericuhan yang berwal dari kematian "tukang ojek" pada Sabtu 10 Sept 2011 dengan segera menebar ketegangan yang amat sangat bagi seluruh warga Kota ambon. Ingatan terhadap ganasnya konflik 1999-2004 seakan menjadi pemicu yang memutar mesin ketegangan masyarakat secara cepat. Banyak orang dengan segera mengumbar tuturan tentang dampak konflik 1999, sambil mempersiapkan diri untuk menyelamatkan keluarganya, atau juga untuk membela komunitasnya masing-masing. 

Bersamaan dengan terpicunya kericuhan pada hari Minggu, 11 september 2011 kemarin, seharusnya saya bergabung bersama beberapa teman yang berencana pergi ke kota Ambon untuk mengikuti kegiatan analisa sosial yang diselenggarakan oleh Sinode GPM bagi departemen-departemen terkait, dan bertempat di aula kantor sinode GPM. Rencana itu kemudian saya batalkan karena dihubungi oleh bung Stanley Ferdinandus untuk menghadiri perayaan ulang tahunnya yang ke-26 di pantai Natsepa. Sambil menunggu teman-teman yang akan datang, saya memperoleh informasi dari beberapa teman lewat pesan pendek (sms), yang memberitahukan terjadinya kericuan antar warga di Ambon, akibat kematian seorang tukang ojek. Awalnya saya berpikir bahwa hal ini merupakan masalah kriminal biasa, dan akan berakhir dengan sendirinya, karenanya saya memutuskan untuk menuju pantai Natsepa seorang diri, karena teman-teman lainnya dari Ambon membatalkan kedatangannya sebagai akibat kericuhan itu.

Di pantai Natsepa, menjelang dilangsungkannya perayaan HUT bung Stanley, saya menginformasikan kehadiran rekan-rekan dan adik-adik Muslim diantara kami. Bersama kami mereka ingin merasakan kebahagiaan Bung Stanley hari itu. Perayaan berlangsung meriah, diwarnai tawa dan canda di bibir ombak yang membuih putih. Beberapa saat setelah berakhirnya keriangan ulang tahun itu, salah seorang sahabat kami memberitahukan bahwa kericuhan di pusat Kota Ambon telah membesar menjadi konflik komunal. Medengar informasi itu, semua rekan terlihat bergegas menghubungi keluarga dan temannya di Ambon, untuk mengetahui perkembangan konflik, baik di daerah komunitas Muslim,maupun sebaliknya di wilayah-wilayah dominan Kristen. 

Ternyata informasi itu benar, dan seketika keriangan pantai Natsepa disergap kesunyian yang mencekam.  Bergegas saya meninggalkan natsepa menuju ke rumah untuk memantau informasi dan perkembangan di kota Ambon. Dengan segera berbagai informasi dari media-media online saya kumpulkan, untuk mengetahui kondisi terakhir di pusat Kota Ambon, sambil sesekali menggeretakan gigi dengan kesal akibat koneksi internet yang tersedat-sendat.

Sejak jam itu saya mulai menelusuri dan mengumpulkan berita-berita tentang konflik Ambon dari berbagai media online yg bisa diakses dari rumah saya, yang terletak sejauh kurang lebih 15 km. Sebagaimana biasanya, ketika konflik sektarian terpicu maka ruas jalan masuk ke pusat Kota Ambon dari arah Galunggung-Batu Merah tidak akan dilewati oleh umumnya warga Kristen seperti saya. Oleh karenanya saya memutuskan untuk memantau perkembangan pusat kota dari berita-berita online yang diakses, atau dari informasi telpon dan SMS yang diperoleh dari teman-teman saya di pusat kota. Sepanjang hari peratama, ketegangan saya memuncak membaca berita-berita online, yang pada umumnya menggambarkan sisi destruktif dari konflik yang bereskalasi dengan cepat. Salah satu diantaranya yang saya temukan sebagai contoh adalah headline berita dari sebuah media yang tercetak dengan huruf kapital, Tertembak di Dagu, Korban Tewas Bertambah, 200 Personel Brimob Diberangkatkan dari Makassar ke Ambon, Kabareskrim: Ricuh Ambon Dipicu Kecelakaan Lalu Lintas Tunggal, Ambon Mencekam, Warga Mengungsi ke Masjid.”

Membaca berita-berita seperti di atas menginisiasi saya untuk mengkampanyekan perdamaian lewat media sosial, seperti facebook, twitter, dll. Inisiatif mengkampanyekan narasi-narasi damai mrupakan upaya perlawanan saya terhadap narasi-narasi perang yang mendominasi banyak media. Dengan begitu masyarakat bisa memperoleh imbangan yang memadai untuk menyeimbangkan diri mereka diantara narasi-narasi perang yang menggempur pikiran dan perasaan dari jam ke jam.

Narasi Damai di bawah Tugu Trikora
Memantau situasi kota dari jarak jauh ternyata menggelisahkan saya. Akhirnya saya memutuskan untuk memasuki pusat kota Ambon dengan menempuh jalan memutar di gunung, yang pemukiman sepanjang jalannya terdiri dari negeri-negeri adat yang beragama Kristen. Saya akhirnya memasuki pusat Kota Ambon, dan menemukan aura ketegangan, kemarahan, serta kebencian yang telah mendominasi mayoritas masyarakat sepanjang jalan yang dilewati. Sesungguhnya alasan lain bagi saya untuk bergabung ke pusat kota, karena saya memperoleh informasi bahwa Ino dan bung Stanley, teman-teman saya, telah kehilngan rumah mereka akibat pembakaran yang terjadi di wilayah Mardika. Dengan tidak terduga, saya kemudian bertemu kedua teman ini, serta lainnya, di kantor litbang GPM. Saat berjumpa, sempat saya tanyakan kondisi rekan-rekan Muslim yang bergabung dalam perayaan HUT Stanley kemarin. Syukurlah, dari jawaban bung Stanley saya tahu bahwa mereka semua telah diantarkan pulang dengan selamat oleh Bung Stanley. Suatu tindakan yang menggetarkan, melakukan tindakan penyelamatan, justru dalam posisinya sebagai korban.

Dalam perjumpaan siang itu, kami berkesempatan menonton rekaman video mengenai benturan kelompok masyarakat di daerah tugu Trikora sehari sebelumnya. Video berdurasi sekitar 25 menit itu menghamparkan kondisi sekitar tugu Trikora yang sangat diwarnai aura kemarahan. Menariknya, diantara dinamika konflik itu kami menemukan sebuah sequen kemanusiaan yang sungguh menggelembungkan harapan terhadap menurunnya emosi kolektif warga.

Dalam tampakan rekaman video itu, di bawah hujan ribuan batu, seketika hadir bapak gubernur Maluku untuk dan menghardik kedua kelompok uang bertikai untuk menghentikan lemparan-lemparan batu itu. Upaya itu tak berhasil, bahkan gubernurpun turut dihujani batu. Dalam cekaman ketegangan itu, tiba-tiba terdengar teriakan, "stop dolo, ada orang yang mau lewat, pindah dolo, kasi jalang par dong mau lewat", (berhenti dulu, ada orang mau lewat, beri jalan buat mereka yang mau lewat). Seketika lemparan batu  berhenti di kedua komunitas, dan kerumunan pemuda itu membiarkan lebih kurang 10 arang "basudara Salam"/saudara Muslim, yang berjalan dari arah Urimesing, melewati kerumunan masa sarane/Kristen menuju ke kerumunan masa salam/Muslim yang menumpuk sepanjang ruas jalan A.M Sangaji, yang melintang lurus ke arah pelabuhan. Sejenak ketika mereka melewati wilayah demarkasi diantara kedua kelompok masa, yang sedang terpanggang amarah itu, aksi saling lempar berlanjut lagi.

Kisah kecil di atas terkesan menggelikan, apalagi bila membandingkan kehadiran bapak Gubernur, yang tetap dihujani batu, dengan situasi terhentinya lemparan batu karena 10 saudara Muslim akan melintasi kerumunan masa. Sekalipun lucu, dan menyebabkan beberapa rekan tertawa sejenak, namun penggalan kecil rekaman video itu mengguratkan sebuah realitas penyeimbang terhadap dominannya narasi perang dalam atmosphere Kota Ambon di saat itu.  Disaat meningkatnya eskalasi ketegangan dari menit ke menit, serta dominasi aura kebencian dan permusuhan pada kelompok lain yang tak seiman, ternyata masih tersedia  ruang bagi terciptanya sebuah tindakan baik bagi sesama. Hal ini menjadi bukti bahwa masyarakat telah belajar untuk menjadi semakin rasional, dengan melokalisir kericuhan kelompok hanya pada mereka yang saling berhadapan. Dibalik itu, prinsip-prinsip kasih sayang, orang basudara/orang bersaudara, serta nilai-nilai lokal relasi kemanusiaan telah semakin tinggi dijunjung. Hal yang tentunya sulit sekali ditemukan dalam ketegangan konflik tahun 1999.

Tanpa terasa sequen video di atas menyergap dan mengharukan kedalaman batin saya. Keharuan ini menuntun saya untuk menuangkannya dalam bentuk narasi damai. Sebuah sequen kemanusiaan kecil, namun memiliki kekayaan makna yang luar biasa besar. Sebuah ungkapan sikap kemanusiaan yang pro hidup, sekalipun hanya sekelebat hadir, diantara dominasi sikap pro-mati yang membuncah keluar dari teriakan-teriakan penuh amarah dan kebencian, disepanjang ruas jalan itu.  Disini saya sadar, bahwa diantara gejolak konflik sepanas apapun, selalu saja ada aspek sejuk kemanusiaan, yang harus dicermati dan ditangkap oleh setiap mereka yang mencintai damai; untuk kemudian mengemasnya dalam narasi-narasi damai yang bisa digunakan untuk memprovokasi lahirnya perdamaian. 

Disayangkan bahw tak selamanya narasi damai ini dikemas media, sebagai penyeimbang narasi konflik. Entah mengapa, banyak media informasi cenderung berpihak pada narasi konflik. Saya bukanlah orang media, namun saya bisa merasakannya sebagai bagian dari rakyat kecil yang mengkonsumsi berita-berita media arus utama; sekaligus yang mendambakan hadirnya media sebagai instrumen rekonsiliasi bagi kelompok-kelompok yang bertikai. Meskipun demikian, tentunya saya tak harus berlama-lama memendam kekecewaan, ataupun bersungut-sungut tanpa melakukan sesuatu. Kegalauan ini memicu saya, dan teman-teman provokator damai, untuk menangkap setiap sequen damai, dari rangkaian gejolak kericuhan baru di kota ini. Merangkainya, dan membaginya kepada setiap saudara, merupakan salah satu strategi bersama diantara kami, yang terus menerus melakukan perlawanan terhadap  mereka, yang selalu berdiri angkuh, dan dengan tangan terkepal memprovokasi pertikaian diantara sesama orang basudara.

Terima kasih untuk teman-teman provokator damai, yang bahu membahu membangun narasi-narasi damai, dan menyirami kesejukan di tengah masyarakat. Tentunya kisah-kisah kita masih berlanjut, dalam rajutan perjalanan orang basudara. Menganyam setiap narasi damai bukanlah karena kita ingin disebut pembawa damai, tetapi karena kita "Su palasi"/sudah bertaubat, setelah menyadari bahwa konflik 1999-2004 semata-mata menghasilkan kehancuran bagi masa depan bersama. Salam damai buat basudara yang bahu membahu memprovokasi perdamaian, Om Embong, Almascatie, Burhan, Ipang, Ipeh, Kaka Aziz Tunny (Abang Agil), Opa Rudi, Bapa Jack, Morika, Aprino, Weslly, Wirol, Stenley, serta semua basudara lain yang bersama-sama memprovokasi damai didalam kapasitasnya masing-masing. Semoga Ambon Manis tarus jua kio.

Hormat!!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar