Narasi Damai Di Tengah Keganasan Informasi Konflik Ambon 11 September 2011
oleh Ronny Tamaela pada 20 September 2011 jam 3:24
mahasiswa PPs program studi agama dan kebudayaan teologi UKIM.
Katong Basudara Lintas Iman
Kericuhan
yang berwal dari kematian "tukang ojek" pada Sabtu 10 Sept 2011 dengan
segera menebar ketegangan yang amat sangat bagi seluruh warga Kota
ambon. Ingatan terhadap ganasnya konflik 1999-2004 seakan menjadi pemicu
yang memutar mesin ketegangan masyarakat secara cepat. Banyak orang
dengan segera mengumbar tuturan tentang dampak konflik 1999, sambil
mempersiapkan diri untuk menyelamatkan keluarganya, atau juga untuk
membela komunitasnya masing-masing.
Bersamaan dengan
terpicunya kericuhan pada hari Minggu, 11 september 2011
kemarin, seharusnya saya bergabung bersama beberapa teman yang berencana
pergi ke kota Ambon untuk mengikuti kegiatan analisa sosial yang
diselenggarakan oleh Sinode GPM bagi departemen-departemen terkait,
dan bertempat di aula kantor sinode GPM. Rencana itu kemudian saya
batalkan karena dihubungi oleh bung Stanley Ferdinandus untuk menghadiri
perayaan ulang tahunnya yang ke-26 di pantai Natsepa. Sambil menunggu
teman-teman yang akan datang, saya memperoleh informasi dari beberapa
teman lewat pesan pendek (sms), yang memberitahukan terjadinya kericuan
antar warga di Ambon, akibat kematian seorang tukang ojek. Awalnya saya
berpikir bahwa hal ini merupakan masalah kriminal biasa, dan akan
berakhir dengan sendirinya, karenanya saya memutuskan untuk menuju
pantai Natsepa seorang diri, karena teman-teman lainnya dari Ambon
membatalkan kedatangannya sebagai akibat kericuhan itu.
Di
pantai Natsepa, menjelang dilangsungkannya perayaan HUT bung Stanley,
saya menginformasikan kehadiran rekan-rekan dan adik-adik Muslim
diantara kami. Bersama kami mereka ingin merasakan kebahagiaan Bung
Stanley hari itu. Perayaan berlangsung meriah, diwarnai tawa dan canda
di bibir ombak yang membuih putih. Beberapa saat setelah berakhirnya
keriangan ulang tahun itu, salah seorang sahabat kami memberitahukan
bahwa kericuhan di pusat Kota Ambon telah membesar menjadi konflik
komunal. Medengar informasi itu, semua rekan terlihat bergegas
menghubungi keluarga dan temannya di Ambon, untuk mengetahui
perkembangan konflik, baik di daerah komunitas Muslim,maupun sebaliknya
di wilayah-wilayah dominan Kristen.
Ternyata informasi
itu benar, dan seketika keriangan pantai Natsepa disergap kesunyian yang
mencekam. Bergegas saya meninggalkan natsepa menuju ke rumah untuk
memantau informasi dan perkembangan di kota Ambon. Dengan segera
berbagai informasi dari media-media online saya kumpulkan, untuk
mengetahui kondisi terakhir di pusat Kota Ambon, sambil sesekali
menggeretakan gigi dengan kesal akibat koneksi internet yang
tersedat-sendat.
Sejak jam itu saya mulai menelusuri dan
mengumpulkan berita-berita tentang konflik Ambon dari berbagai media
online yg bisa diakses dari rumah saya, yang terletak sejauh kurang
lebih 15 km. Sebagaimana biasanya, ketika konflik sektarian terpicu maka
ruas jalan masuk ke pusat Kota Ambon dari arah Galunggung-Batu Merah
tidak akan dilewati oleh umumnya warga Kristen seperti saya. Oleh
karenanya saya memutuskan untuk memantau perkembangan pusat kota dari
berita-berita online yang diakses, atau dari informasi telpon dan SMS
yang diperoleh dari teman-teman saya di pusat kota. Sepanjang hari
peratama, ketegangan saya memuncak membaca berita-berita online, yang
pada umumnya menggambarkan sisi destruktif dari konflik yang bereskalasi
dengan cepat. Salah satu diantaranya yang saya temukan sebagai contoh
adalah headline berita dari sebuah media yang tercetak dengan huruf kapital, Tertembak
di Dagu, Korban Tewas Bertambah, 200 Personel Brimob Diberangkatkan
dari Makassar ke Ambon, Kabareskrim: Ricuh Ambon Dipicu Kecelakaan Lalu
Lintas Tunggal, Ambon Mencekam, Warga Mengungsi ke Masjid.”
Membaca
berita-berita seperti di atas menginisiasi saya untuk mengkampanyekan
perdamaian lewat media sosial, seperti facebook, twitter, dll. Inisiatif
mengkampanyekan narasi-narasi damai mrupakan upaya perlawanan saya
terhadap narasi-narasi perang yang mendominasi banyak media. Dengan
begitu masyarakat bisa memperoleh imbangan yang memadai untuk
menyeimbangkan diri mereka diantara narasi-narasi perang yang menggempur
pikiran dan perasaan dari jam ke jam.
Narasi Damai di bawah Tugu Trikora
Memantau
situasi kota dari jarak jauh ternyata menggelisahkan saya. Akhirnya
saya memutuskan untuk memasuki pusat kota Ambon dengan menempuh jalan
memutar di gunung, yang pemukiman sepanjang jalannya terdiri dari
negeri-negeri adat yang beragama Kristen. Saya akhirnya memasuki pusat
Kota Ambon, dan menemukan aura ketegangan, kemarahan, serta kebencian
yang telah mendominasi mayoritas masyarakat sepanjang jalan yang
dilewati. Sesungguhnya alasan lain bagi saya untuk bergabung ke pusat
kota, karena saya memperoleh informasi bahwa Ino dan bung Stanley,
teman-teman saya, telah kehilngan rumah mereka akibat pembakaran yang
terjadi di wilayah Mardika. Dengan tidak terduga, saya kemudian bertemu
kedua teman ini, serta lainnya, di kantor litbang GPM. Saat berjumpa,
sempat saya tanyakan kondisi rekan-rekan Muslim yang bergabung dalam
perayaan HUT Stanley kemarin. Syukurlah, dari jawaban bung Stanley saya
tahu bahwa mereka semua telah diantarkan pulang dengan selamat oleh Bung
Stanley. Suatu tindakan yang menggetarkan, melakukan tindakan
penyelamatan, justru dalam posisinya sebagai korban.
Dalam
perjumpaan siang itu, kami berkesempatan menonton rekaman video
mengenai benturan kelompok masyarakat di daerah tugu Trikora sehari
sebelumnya. Video berdurasi sekitar 25 menit itu menghamparkan kondisi
sekitar tugu Trikora yang sangat diwarnai aura kemarahan. Menariknya,
diantara dinamika konflik itu kami menemukan sebuah sequen kemanusiaan
yang sungguh menggelembungkan harapan terhadap menurunnya emosi kolektif
warga.
Dalam tampakan rekaman video itu, di bawah hujan
ribuan batu, seketika hadir bapak gubernur Maluku untuk dan
menghardik kedua kelompok uang bertikai untuk
menghentikan lemparan-lemparan batu itu. Upaya itu tak berhasil, bahkan
gubernurpun turut dihujani batu. Dalam cekaman ketegangan itu, tiba-tiba
terdengar teriakan, "stop dolo, ada orang yang mau lewat, pindah dolo, kasi jalang par dong mau lewat",
(berhenti dulu, ada orang mau lewat, beri jalan buat mereka yang mau
lewat). Seketika lemparan batu berhenti di kedua komunitas, dan
kerumunan pemuda itu membiarkan lebih kurang 10 arang "basudara
Salam"/saudara Muslim, yang berjalan dari arah Urimesing, melewati
kerumunan masa sarane/Kristen menuju ke kerumunan masa salam/Muslim yang
menumpuk sepanjang ruas jalan A.M Sangaji, yang melintang lurus ke arah
pelabuhan. Sejenak ketika mereka melewati wilayah demarkasi diantara
kedua kelompok masa, yang sedang terpanggang amarah itu, aksi saling
lempar berlanjut lagi.
Kisah kecil di atas terkesan
menggelikan, apalagi bila membandingkan kehadiran bapak Gubernur, yang
tetap dihujani batu, dengan situasi terhentinya lemparan batu karena 10
saudara Muslim akan melintasi kerumunan masa. Sekalipun lucu, dan
menyebabkan beberapa rekan tertawa sejenak, namun penggalan kecil
rekaman video itu mengguratkan sebuah realitas penyeimbang terhadap
dominannya narasi perang dalam atmosphere Kota Ambon di saat itu.
Disaat meningkatnya eskalasi ketegangan dari menit ke menit, serta
dominasi aura kebencian dan permusuhan pada kelompok lain yang tak
seiman, ternyata masih tersedia ruang bagi terciptanya sebuah tindakan
baik bagi sesama. Hal ini menjadi bukti bahwa masyarakat telah belajar
untuk menjadi semakin rasional, dengan melokalisir kericuhan kelompok
hanya pada mereka yang saling berhadapan. Dibalik itu, prinsip-prinsip
kasih sayang, orang basudara/orang bersaudara, serta nilai-nilai lokal
relasi kemanusiaan telah semakin tinggi dijunjung. Hal yang tentunya
sulit sekali ditemukan dalam ketegangan konflik tahun 1999.
Tanpa
terasa sequen video di atas menyergap dan mengharukan kedalaman batin
saya. Keharuan ini menuntun saya untuk menuangkannya dalam bentuk narasi
damai. Sebuah sequen kemanusiaan kecil, namun memiliki kekayaan makna
yang luar biasa besar. Sebuah ungkapan sikap kemanusiaan yang pro hidup,
sekalipun hanya sekelebat hadir, diantara dominasi sikap pro-mati yang
membuncah keluar dari teriakan-teriakan penuh amarah dan kebencian,
disepanjang ruas jalan itu. Disini saya sadar, bahwa diantara gejolak
konflik sepanas apapun, selalu saja ada aspek sejuk kemanusiaan, yang
harus dicermati dan ditangkap oleh setiap mereka yang mencintai damai;
untuk kemudian mengemasnya dalam narasi-narasi damai yang bisa digunakan
untuk memprovokasi lahirnya perdamaian.
Disayangkan
bahw tak selamanya narasi damai ini dikemas media, sebagai penyeimbang
narasi konflik. Entah mengapa, banyak media informasi cenderung berpihak
pada narasi konflik. Saya bukanlah orang media, namun saya bisa
merasakannya sebagai bagian dari rakyat kecil yang
mengkonsumsi berita-berita media arus utama; sekaligus yang mendambakan
hadirnya media sebagai instrumen rekonsiliasi bagi kelompok-kelompok
yang bertikai. Meskipun demikian, tentunya saya tak harus berlama-lama
memendam kekecewaan, ataupun bersungut-sungut tanpa melakukan sesuatu.
Kegalauan ini memicu saya, dan teman-teman provokator
damai, untuk menangkap setiap sequen damai, dari rangkaian gejolak
kericuhan baru di kota ini. Merangkainya, dan membaginya kepada setiap
saudara, merupakan salah satu strategi bersama diantara kami, yang terus
menerus melakukan perlawanan terhadap mereka, yang selalu berdiri
angkuh, dan dengan tangan terkepal memprovokasi pertikaian diantara
sesama orang basudara.
Terima kasih untuk teman-teman
provokator damai, yang bahu membahu membangun narasi-narasi damai, dan
menyirami kesejukan di tengah masyarakat. Tentunya kisah-kisah kita
masih berlanjut, dalam rajutan perjalanan orang basudara. Menganyam
setiap narasi damai bukanlah karena kita ingin disebut pembawa damai,
tetapi karena kita "Su palasi"/sudah bertaubat, setelah menyadari bahwa
konflik 1999-2004 semata-mata menghasilkan kehancuran bagi masa depan
bersama. Salam damai buat basudara yang bahu membahu memprovokasi
perdamaian, Om Embong, Almascatie, Burhan, Ipang, Ipeh, Kaka Aziz Tunny
(Abang Agil), Opa Rudi, Bapa Jack, Morika, Aprino, Weslly, Wirol,
Stenley, serta semua basudara lain yang bersama-sama memprovokasi damai
didalam kapasitasnya masing-masing. Semoga Ambon Manis tarus jua kio.
Hormat!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar