Samuel Warella

Kamis, 20 Oktober 2011

Cerita Di Balik Aksi Damai “Suara Damai Dari Timur Untuk Indonesia” - Antara Beta dan Gong Perdamaian Dunia itu

Oleh : Weslly Johannes

Tentang Monumen Gong Perdamaian Dunia (World Peace Gong) yang bertempat di kota Ambon - Maluku, saya punya cerita dan malam ini, baru sekali, saya ingin menulis tentang satu peristiwa baik yang baru saja terjadi di situ dan hal itu yang merubah kesan saya tentang monumen ini. Saya pernah bersumpah untuk tidak menjejakkan kaki di tempat ini karena beberapa sebab yang tidak perlu lagi saya sebutkan. Tapi mungkin hanya akan saya singgung sedikit terkait peristiwa hari ini. Semoga tidak basi. 

Saat bakudapa di depan pintu pagar Monumen Gong Perdamaian Dunia, Bung Berry bilang begini : “Pada waktu gong ini dibangun, pemerintah hanya bikin kulit tanpa isi”. Jadi, apa yang dibangun itu adalah monumen yang tidak monumental. 

Begini maksud saya, monumen itu bangunan atau tempat yang mempunyai nilai sejarah yang penting, karena itu dipelihara dan dilindungi dan saat berada di situ atau pun hanya sekedar memandangnya dari jauh akan menimbulkan kesan peringatan pada sesuatu yang agung. Kesan peringatan pada sesuatu – biasanya peristiwa, selain tokoh, waktu, dan tempat, di dalamnya juga ada nilai-nilai – yang agung inilah yang dimaksud dengan monumental. 

Jadi, bangunan atau tempat baru boleh disebut monumen jika setiap orang yang memandangnya atau berada di sekitarnya beroleh kesan yang mendalam tentang sesuatu peristiwa di masa lampau yang bermakna. Nah, di sinilah persoalan saya dan beberapa teman yang pernah bersumpah untuk tidak menjejakkan kaki di tempat itu. 

Saya belum menyebutnya monumen pada saat itu, karena memang saat memandangnya, tidak menimbulkan kesan apa-apa selain protes keras pada orang-orang yang berpikir bahwa damai itu serta merta akan terwujud saat logam besar itu dipancang dan dibunyikan. Namun, syukurlah ! Lewat undangan yang tidak terduga dari "abang" Morika, saya bisa berjumpa dengan kawan-kawan dan dalam percakapan yang terjadi di depan pintu pagar Monumen Gong Perdamaian Dunia sore tadi, saya menemukan maknanya dalam kata-kata Bung Berry.

Dari percakapan itu, saya memahami bahwa pekerjaan hari ini (Suara Damai dari Timur untuk Indonesia) dan pekerjaan-pekerjaan sebelumnya yang dilakukan oleh anak-anak muda dari berbagai komunitas di kota Ambon adalah pekerjaan memberi makna baru bagi sebentuk beton dan logam tanpa makna itu. Percakapan dengan Bung Berry dan kawan-kawan di depan pintu pagar Gong Perdamaian Dunia tadi memberi cukup alasan bagi saya untuk melanggar sumpah dan untuk pertama kalinya menjejakkan kaki di sana. 

Sudahlah ! Adalah lebih baik mulai melakukan kebaikan dari tempat yang pernah saya sumpahi ini, daripada membiarkannya tidak bermakna bagi diri sendiri. Ah, jadi ingat ada seorang dosen pernah bilang begini : “Hidup adalah pekerjaan memberi makna pada setiap peristiwa”. Tanpa makna, maka setiap peristiwa akan begitu saja berlalu.

Saat memasuki pelataran Gong Perdamaian Dunia, saya sedikit kaku namun perlahan rasa itu hilang saat aksi damai yang dikemas dalam pentas budaya bertajuk “Suara Damai dari Timur untuk Indonesia” dimulai, lalu saya tenggelam dalam alunan musik dan lirik lagu sarat makna, mendengar dan meresapi bait demi bait lalu teater lalu lagu dan akhirnya doa. Saat hendak berdoa, saya jadi sadar bahwa sejak tadi serasa sedang “sembahyang”.

‘Tuhan’ seakan-akan saya jumpai dalam lirik-lirik lagu, bait-bait puisi, dan butir-butir resolusi yang berbisik lembut bahkan sesekali berteriak dengan lantang untuk mengharuskan kita bergerak mewujudkan damai dan menentang setiap tindak kekerasan atas nama agama atau atas nama tuhan sekali pun, kapan saja, di mana saja. 

Saya benar-benar merasakan energinya! Ini peristiwa monumental yang merubah cara pandang saya terhadap tempat ini. Serentak, Monumen Gong Perdamaian Dunia ini benar-benar jadi monumen. Monumen yang akan selalu mengingatkan saya bahwa di sini kita yang berbeda-beda pernah bersumpah untuk terus bergerak dalam satu semangat menuju satu arah "mewujudkan damai dan menentang segala bentuk kekerasan atas nama agama bahkan atas nama tuhan sekali pun". Saya sadar bahwa kadang jika sesuatu tidak mungkin lagi dirubah (seperti gong itu), maka mungkin saya yang harus berubah.

Begitu aksi damai itu selesai, saya memandang gong di atas sana sambil berkata dalam hati : “Cukuplah! Kita sudahi pertengkaran ini sampai di sini sebab kita sudah memulai sesuatu yang baik bersama-sama”. Sembari berpamitan, saya melangkah keluar dengan damai dan setelah selesai menulis dan membagikan tulisan ini saya akan beristirahat dengan damai pula. Bukan mati, hanya istirahat!
Sebelum beristirahat... Ingat sumpah kita tadi dan jangan lupa berdoa...
Mungkin Kami butuh Cinta yang Banyak
– Sebait doa –
Dalam damai yang sepenggal aku meminta
Tuhan, sebelum Engkau mati tertikam pemberontakan manusia
Maka berikanlah kami cinta yang banyak
agar ada sisa untuk mencintai sesama
saat sudah habis semua cinta kami berikan pada diri sendiri, agama, sekeping kebenaran, dan keyakinan
dan tambahkan lagi sedikit cinta untuk kembali menemukanMu
sebab Engkau adalah cinta itu
Tuhan, mungkin kami butuh lebih banyak lagi cinta!
----------------------------------
Terima kasih buat MHC, Ambon Bergerak, Sageru, D’Embalz, Semang, Bengkel Sastra Maluku, Bengkel Seni Embun, Opa Bing Leiwakabessy, Bung Glenn Fredly, Bung Rence Alfons, Amadeus, Mara Christy, dan semua yang tidak sempat disebut satu demi satu. Kita semua berbeda karenanya kita masing-masing unik dan istimewa, tapi malam ini dan seterusnya kita harus satu “Suara [kan] Damai dari Timur untuk Indonesia” kita yang satu dalam beda. Lawamena !

DIASPORA ALIFURU

Sejarah adalah titik-titik waktu yang menjelaskan hakekat peradaban sebuah suku bangsa dalam kurun waktu perkembangannya. Saking pentingnya mengingat sejarah, Ir. Soekarno mengangkatnya sebagai tema pidato kenegaraan Pada 17 Agustus 1966 dibawah judul "Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah" yang disingkat JASMERAH.

Medio tahun 2006 penulis sering mondar-mandir di kawasan Gambir Jakarta Pusat untuk satu urusan di Kementerian Luar Negeri yang beralamat di Jalan Pejambon. Pertama kali mendengar nama daerah ini seperti memaksa memori otak saya untuk menghubungkannya dengan nama kota Ambon. Benar saja, dari beberapa referensi yang sempat dibaca ternyata daerah Pejambon dan Pejongkeran, satu kawasan lain di daerah Jakarta Utara adalah bekas hunian orang-orang Ambon jaman kolonial di Batavia.

Jika demikian halnya, maka Alifuru sebagai cikal bakal suku bangsa Maluku pasti memiliki sejarah diaspora. Namun melacaknya ditengah keterbatasan sumber sejarah dan referensi pendukung bagaikan merangkai puzzle yang tersembunyi dikedalaman misteri waktu.
Gelombang Diaspora
Petunjuk diatas akhirnya memberi bukti pemula pada penulis, menjadikan prasasti pejambon dan pejongkeran sebagai tonggak awal dimulainya diaspora suku bangsa Maluku yang dikenal sebagai orang Alifuru. Diaspora orang Maluku tidak hanya terjadi dalam satu kali tetapi dalam beberapa gelombang dalam kurun waktu yang berbeda.
Diaspora jilid I dimulai awal abad ke-16 ketika makin kukuhnya kekuasaan VOC di Maluku setelah meredam berbagai perlawanan rakyat lokal melalui serangkaian ekspedisi menaklukan Kerajaan Hitu (perang wawane dan kapahaha), Huamual (perang huamual), Iha (perang Iha), dan Hatuhaha (perang alaka II).

Saat bekas Gubernur Jenderal Amboina Arnold de Fleming van Oudtshoorn berkedudukan di Batavia, ia berada dalam posisi sulit untuk menumpas perlawanan raja-raja lokal nusantara, sehingga dibentuklah milisi-milisi lokal yang direkrut dari daerah jajahan. Salah satunya adalah milisi-milisi dari Ambon dibawah pimpinan Kapitan Jongker yang juga dikenal sebagai Jongheer van Ambon.
Kapitan Jonker dan pasukannya terlibat di berbagai ekspedisi dalam membantu VOC, antara lain di Timor, pantai barat Sumatera, Sulawesi, pantai timur Jawa, Palembang dan Banten. Termasuk menumpas perlawanan Trunojoyo (1675-1682). Atas jasa-jasanya, ia mendapatkan suatu wilayah di daerah Cilincing, Jakarta Utara dengan sebutan Pejongkeran selain barak militer pasukan Ambon yang diberi nama Pejambon.

Diaspora jilid II dimulai awa abad ke-18 ketika Joannes Benedictus van Heutsz membentuk sebuah pasukan komando untuk meredam gerilya rakyat Aceh. Ide ini melahirkan sebuah pasukan tangguh yang direkrut dari Ambon, Manado dan Jawa. Pasukan ini dikenal sebagai Marsose ditugaskan antara lain dalam pertempuran melawan kerajaan Aceh Darusalam dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Sampai tahun 1912 ketika pasukan Marsose di bawah pimpinan Letnan B.J. Schmidt dibubarkan. Suka duka pasukan elit Marsose dalam ekspedisi Aceh ditulis apik dalam buku Atjeh karya H. C. Zentgraaff mantan serdadu belanda yang kemudian menjadi wartawan.

Diaspora jilid III terjadi pada abad ke-20 berawal Bangsa Maluku yang melakukan perpindahan besar-besaran ke Eropa pada tahun 1952 karena menolak bergabung dengan Indonesia. Mereka umumnya adalah bekas tentara KNIL yang diperbantukan pada tentara reguler Kerajaan Belanda. Tahun 1950, setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, jumlah serdadu KNIL diperkirakan sekitar 60.000 orang. Jumlah orang Ambon diperkirakan sekitar 5.000 orang, yang sebagian besar ikut dibawa ke Belanda dan tinggal di sana sampai sekarang.
Selanjutnya diaspora jilid IV terjadi pada tahun 1991 ketika pemerintah orde baru melalui Hutomo Mandala Putra (Tomi Soeharto) memberlakukan tata niaga cengkeh melalui Badan Penyanggah dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Akibat monopoli tata niaga cengkeh, harga cengkeh sempat terpuruk sampai Rp 2.300 - Rp 2.500 sehingga menghancurkan ekonomi rakyat Maluku yang sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup dari komoditi cengkeh.

Kondisi ini memicu diaspora besar-besaran masyarakat Maluku khususnya anak-anak muda ke kota-kota besar Indonesia seperti Makasar, Manado, Surabaya, Bandung dan Jakarta untuk mengadu nasib memperbaiki ekonomi keluarga.
Sampai kemudian timbul konflik sosial tahun 1999 yang memicu gelombang diaspora besar-besaran ke seluruh pelosok dunia. Selama periode 1999-2003 diperkirakan ada ratusan ribu orang Maluku yang terpaksa eksodus ke daerah-daerah aman bahkan ke luar negeri dan belum sempat kembali ke Maluku. Kini komunitas oran Maluku dapat dijumpai dalam jumlah besar di negara-negara Eropa barat seperti Belanda, Belgia, Perancis kemudian Portugal, Amerika Serikat, Jerman dan beberapa negara lainnya.

Diaspora dan Penderitaan

Diaspora membawa kita ke sebuah memori yang menyimpan sejarah dunia tentang peradaban anak manusia. Ia melahirkan ribuan bahkan jutaan persimpangan dari terminal kosmologi semesta tentang bahasa penderitaan dan penindasan. Dari sana ditemukan jejak-jejak bahasa manusia dari yang halus dan humanis hingga bahasa kekerasan dan tirani.
Sebenarnya ada banyak kosa kata padanan dari kata diaspora itu sendiri. Ambillah, kata migrasi, pengungsian,pengusiran, eksodus, perpindahan dan lainnya. Namun diaspora telah menjelma dalam makna penderitaan dari sebuah konspirasi politik dan intrik kekuasaan sehingga lazim digunakan untuk mendeskripsikan perpindahan sebuah suku bangsadari tanah kelahirannya.

Dalam Wikipedia internasional istilah diaspora adalah akar kata Yunani merujuk kepada bangsa atau penduduk manapun yang terpaksa atau terdorong untuk meninggalkan tanah air tradisional mereka. Asal usul kata itu sendiri diduga dari versi Septuaginta dari Kitab Ulangan 28:25, "sehingga engkau menjadi diaspora (penyebaran) bagi segala kerajaan di bumi". Makna aslinya merujuk secara khusus kepada penduduk Yahudi yang dibuang dari Yudea pada 586 SM oleh Nebukadnezar dari Babilonia, dan Yerusalem pada 135 M oleh Kekaisaran Romawi.

Kamus global wikipedia memberikita dua kata kunci "terpaksa" dan "terdorong" sebagai akar sebab munculnya kata diaspora. Kata-kata kunci ini memberi ruang interpretasi tentang sebuah kekuatan diluar kehendak rakyat yang membuat sekelompok orang beramai-ramai meninggalkan tanah kelahiran tradisional. Diaspora merupakan hukum universal yang tidak menyisakan sedikitpun pengecualian untuk sebuah suku bangsa.

Seorang penulis, Jacob Riis menyimpulkan bahwa diaspora secara massif terbentuk pada pertengahan abad ke-20. Pada masa ini telah terjadi krisis pengungsi etnis besar-besaran, karena peperangan dan bangkitnya nasionalisme, fasisme,komunisme dan rasisme,serta karena berbagai bencana alam dan kehancuran ekonomi. Pada paruhan pertama dari abad ke-20 ratusan juta orang terpaksa mengungsi diseluruh Eropa, Asia, dan Afrika Utara.

Jika menengok sejenak kebelakang, diaspora boleh dikatakan berumur seusia kehadiran manusia di alam semesta. Berawal dari tragedi adam dan hawa (eva) di taman firdaus yang harus eksodus ke muka bumi karena melawan titah langit. Begitu pula yang terjadi dengan keturunan pertama mereka. Qabil pada akhirnya harus melakukan eksodus setelah terlibat konflik perebutan wahyu langit dengan saudara kembarnya yang berakhir dengan tragedi pembunuhan pertama di muka bumi.
Pada akhirnya sejarah akan terus berulang seirama dengan putaran waktu pada 12 digit angka, dan itu berarti pula bahwa diaspora di ruang semesta akan terus berlangsung selama keserakahan dan kesombongan belum diusir dari ruang hati manusia.

Kapitan Merah
Penulis = Ahmad Mony

Selasa, 27 September 2011

KERANGKA DASAR SIWA-LIMA oleh, Samuel Y. Warella


KERANGKA DASAR SIWA-LIMA


 oleh, Samuel Y. Warella

HEKA LEKA
Heka Leka adalah bagian integral dari pada ASA, suatu hukum kekal yang mengatur alam semesta dan perjalanan yang menjadi tujuan manusia.

Heka berarti = Pemecahan,Pembagian,Perang

Leka berarti = Kelahiran, Kelahiran Ulang, Kelahiran Baru

Hukum " Heka Leka " menjelaskan dan membenarkan prisip pembidangan, pembagian differensiasi,diversifikasi, bertumbuh untuk kembali ke TOTALITAS. Asa yang totalitas di dalam alam semesta, didalam alam, di dalam ruang lingkup hidupnya masyarakat,, didalam manusia harus Heka : perpecahan harus berlangsung terus hingga tercapai puncak titik sublemasi ketika kemana lahir Leka : Kelahiran baru. Cara pendekatan dan pengungkapan dari pada Heka Leka adalah konsepsi yang sering kita pergunakan di dalam lingkungan masyarakat SIWA LIMA tiga contoh akan diberikan di sini. " Anda dapat melihat gunung di dalam sebuah pasir " Pada skala alam semesta, dikatakan bahwa manusia, lingkungan masyarakat, alam ( masing-masing mereka adalah Asa )  adalah bagian tak terpisahkan dari pada totalitas Asa yang menyeluruh atau ALLAH dengan penampilannya :"  ALAM SEMESTA " mengikuti hukum Heka Leka, ialah untuk memelihara perimbangan serta untuk mencapai harmoni : Wajah Penampilan Alam yang kekal.

HEKA LEKA di dalam Manusia
Mengikuti manusia sebagai Asa, maka ketiga fungsi tampil didalamnya :

1.     Siwa Hitam : Intellect ( Mental Power )

2.     Lima : Sentiment ( Jiwa Rasa )

3.     Siwa Putih : Vitalitas ( Nafsu )

Setiap Anak Bangsa ALIFURU yang baru lahir memiliki ketiga " Fungsi " ini. Bukti yang pertama adalah vitalitas yang mendukung sang bayi menghadapi tantangannya Heka untuk hidup. Berikut tampil Sentiment, dan mulai di dalam dirinya perkelahian Heka antara kedua fungsi tersebut dan tak lama kemudian disertainya oleh intellek yang turut bergabung di dalam Heka secara terus menerus : Intelek dan Vitalitas melawan Sentiment Intelek,begitu juga Sentimen Melawan Vitalitas dan seterusnya Vitalitas dan Sentiment melawan Intelek.

" Mangkanya orang Alifuru dalam hal ini maluku Selalu senang berperang dan Orang Maluku suka perang. Mereka rupanya sewaktu lahir sudah makan warisan peluru para leluhur – leluhur dan tetua tetua adat turun temurun dari mulut kemulut. Bangsa Maluku punya hati , jiwa dan rasa lebih dari putihnya salju,karena sejak lahir sudah dianuhgrahkan para-leluhur-leluhur sebuah mahkota LIMA : Sentimen ( Jiwa Rasa ).Dengan demikian mulut kemulut maka pandai bernyanyi dan mempunyai jiwa dan rasa saling bertentangan sehingga menghasilkan suara yang merdu Orang Maluku adalah orang orang yang pandai bernyanyi. Demikian semua terjadi dari zaman ribuan tahun sampai dengan sekarang ini  " .

Ritual pengukuhan sebagai kakian ( atau KAKEHAN ) hendak memperkenalkan pada remaja lelaki pengertian spiritual dari pada hukum alam semesta mengikuti ajaran Mauwen ( Imam Besar ) di tuntun oleh kedua saksinya ( Masela ) dia dapat berlayar bagaimana dipelihara perimbangan ketiga fungsi alam di dalam dirinya dengan mempergunakan kuasa Roh yang disebut : " Tiang Keempat yang tidak Kelihatan " yang mengantar ketiga fungsi yang lain mencapai Asa kembali melalui kehidupan baru ( Leka ) dari Dia yang di kukuhkan.

HEKA LEKA DALAM LINGKUNGAN MASYARAKAT

Ketiga kelompok Pata ( Atau Clan ) dari persekutuan Siwa Lima adalah Pata Siwa Hita, Pata Siwa Lima, Pata Siwa Putih. Sejarah maupun sesuai arsip atau cerita turun temurun, meninggalkan jejeak hingga jauh kemasa lampau tentang tidak pernah terhentinya kelahiran dan perang antara kelompok – kelompok yang bersaudara itu. Mereka itu " Manusia Perang….. dan manusia Potong kepala yang kejam…. Anak-anak dari hutan….. pun tidak takut pada maut..dan memiliki suatu kepercayaan yang mencakupi konsepsi kelahiran baru yang hidup kekal dan mengenal satu Allah Yang Maha Kuasa.!"

Teriak Perang adalah "Heka Leka"! yang dalam hubungan ini berarti : " Berperang Bunuh untuk dilahirkan Baru " Ditambah pada fakta bahwa kepala di perlukan untuk membangun bangun bangunan penting dan untuk upacara-upacara, Hukum Heka Leka membenarkan Fakta Bahwa : " Pata Siwa Hitam harus adakan perang melawan Pata Lima karena hidup baru " Hanya Pata Siwa Hitam diketahui mengikuti ritual inisiasi ( dikenal pada tatoo yang tergores pada bagian atas dari pada tubuh mereka) maka hanya melalui potong kepala " HEKA " Pata Lima dapat mencapai hidup baru " Leka ". Nanti kita akan melihat ( Lihat Kapata ) bagaimana kepercayaan ini menegaskan melalui tradisi yang diturunkan dari mulut ke mulut.

HEKA LEKA DI DALAM ALAM

Casava ( Kasbi atau ketela pohon ) sesudahnya sagu adalah tanaman makanan pokok daerah MALUKU. Batangnya di potong ( Dipecah-dibagi ) dalam beberapa panggal ( ditanam setiap panggal untuk memperoleh tanaman baru ) Adalah Heka. Pda waktu panennya terdapat gerak operasi ganda : ialah pembersian tempat dan mengeluarkan isinya di sebut Leka. Karena batang tanaman asli dibagi-bagi dalam panggal-panggal : HEKA setelah bertumbuh dan seluruh menjadi panen baru : LEKA

" Anak Cucu Bangsa Alifuru Maluku"

Profil Om Jo dan Sejarah GMKI oleh : Andre Manusiwa, SE

Profil Om Jo dan Sejarah GMKI oleh : Andre Manusiwa, SE

oleh Andre Manusiwa (Mantan Ketua Umum GMKI Masa Bakti 2002-2004)
pada 19 September 2010
 
1. Johanes Leimena dan Nasionalisme

Pria kelahiran Ambon, tepatnya di desa Ema pada tanggal 6 Maret 1905 ini berasal dari sebuah keluarga yang sederhana. Menghabiskan waktunya di Ambon sampai usia 9 tahun, hidupnya kemudian berlanjut di pulau Jawa bersama pamannya. Sebagian waktu pendidikan dasarnya dijalaninya di tengah keluarga, sebelum memasuki lingkungan yang lebih hetorogen baik di ELS (Europeesch Lagere School) maupun di Paul Krugerschool (Sekarang SMP PSKD).
Dari latar belakang keluarga guru yang berdisiplin dan taat beragama serta pendidikan yang menekankan mutu intelektual, membuat Leimena bertumbuh dalam kepekaan lingkungan sosialnya. Di STOVIA yang pada saat itu dekenal sebagai kampus perjuangan, Leimena muda mulai menempa hidupnya untuk berjuang membebaskan bangsanya dari kekuasaan kolonial. Perjumpaannya dengan Dr. I.L Van Doorn seorang ahli kehutanan tropis yang diutus oleh NCSV (Nederlanche Cristelijke Studenten Vereniging) semakin mematangkan pemikirannya. Mereka berdua kemudian membentuk CSV op Java pada tanggal 28 Desember 1932 di Kaliurang Yogjakarta. Melalui CSV op Java inilah, Leimena mematangkan pemahamannya mengenai kenyataan Kolonialisme, Nasionalisme dan Gerakan Oikumene. Selain itu Om Jo juga terlibat dalam perkumpulan “Jong Ambon” sebagai Ketua Umum dan ikut aktif dalam persiapan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Pengalaman dimasa mudanya menjadikannya seorang pemimpin pada zamannya, Leimena bahkan disegani oleh kawan maupun lawannya. Berbagai jabatan politik pernah disandangnya yakni Menteri Kesehatan pada berbagai kabinet, Menteri Sosial, Menteri Distribusi, Wakil Menteri Pertama,Wakil Perdana Menteri bahkan “Om Jo” oleh Soekarno dipercayakan sebagai Pejabat Presiden sebanyak 7 (tujuh Kali). Di Legislatif, Leimena pernah menjadi Anggota DPR-RI/Anggota Konsituante/Wakil Ketua Konsituante RI tahun 1956-1959. Selain itu Leimena juga pernah menjadi menjadi anggota DPA-RI (Dewan Pertimbangan Agung).
“Om Jo” Juga tekun di bidang kesehatan, dunia yang digelutinya semasa bangku pendidikan. Orang kemudian mengenal “Salep” Leimena yang Mujarab bahkan Konsep PUSKESMAS yang terkenal sampai dengan saat ini. Beberapa Rumah Sakit Pernah dipimpinnya seperti Rumah Sakit Banyu Asih Purwakarta, Rumah Sakit Tanggerang, dan Rumah Sakit PGI Cikini.
Pengabdian yang besar kepada bangsanya, membuat Leimena memperoleh tanda Jasa/tanda Kehormatan oleh negara maupun dunia Internasional. Oleh Negara Leimena memperoleh Bintang Gerilya, Bintang Mahaputera Kelas II, Satya Lencana Pembangunan, Satya Lencana Kemerdekaan, Satya Lencana Karya Satya Kelas I. Beberapa Negara yang memberikan tanda kehormatan yakni, Filipina, Bolivia, Rumania, Yugoslavia, Ekuador, Thailand, Republik Persatuan Arab, Kamboja, Meksiko.
Gagasan tentang Kewarganegaraan yang bertanggung jawab adalah sebuah pemikiran “Om Jo” yang begitu monumental. Menurut Om Jo, fungsi negara dalah mengatur, melindungi dan mempertahankan kehidupan sebagai satu kesatuan. Negara dengan demikian mempertahankan dan melindungi kehidupan dan hak-hak dari penduduknya. Negara mengatur hal-hal ini atas dasar hukum keadilan (rechten rechvaardigheid). Adanya fungsi negara untuk mengatur, melindungi dan mempertahankan kehidupan warga negara akan menumbuhkan konsepsi warga negara yang bertanggung jawab. Warga negara yang bertanggung jawab berarti bahwa warga negara turut bertanggung jawab atas seagala sesuatu yang berlaku dalam negaranya. Ia turut bertanggung jawab atas maju mundurnya negara itu. Terhadap kemajuan ia memuji pemerintah, terhadap kemunduran, ia memberikan kecaman kepada pemerintah melalui saluran-saluran yang legal. Karena itu, kita hanya dapat mengatakan bahwa kita adalah warga negara yang mau turut bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berlaku dalam negara, jika kita mempunyai keinsyafan kenegaraan (saatsbewustzijn).
Ridwan Saidi mantan ketua umum PB HMI dalam perjumpaannya dengan “Om Jo” menceritrakan bahwa dengan pemikirannya yang kritis “ Om Jo” pernah meminta kepada Soekarno Presiden pertam RI untuk tidak membubarkan HMI yang pada saat itu dianggap sebagai anderbouw MASYU,MI. Om Jo menggap bahwa HMI adalah salah satu elemen bangsa yang turut memperjuangkan masa depan Indonesia, Om Jo menganggap bahwa tindakan ini tidak demokratis. Sebagai seorang anak Maluku yang lahir di Ambon dan kemudian melanjutkan hidupnya di tanah Jawa Leimena bahkan tidak pernah menunjukan sikap sebagai keambonannya yang smpit seperti pengakuan Dr.G.A. Siwabessy dalam perjumpaannya dengan Om Jo di Kaliurang tahun 1931. Om Jo dengan Jong Ambon bahkan berjuang membangun kesadaran kebangsaan dikalangan orang Ambon saat itu, Sebagai Ketuanya Om Jo terlibat dalam mempersiapkan deklarasi Sumpa Pemuda dalam Kongres Pemuda I pada tanggal 28 Oktober 1928. Momentum ini kemudian menjadi momentum bersejarah dalam perjuangan Indonesia merdeka, kerana munculnya sebuah kesadaran nasionalisme dikalangan generasi muda saat itu. 

2. Dr Johanes Leimena dan GMKI
Perkenalan “Om Jo” diawali ketika pertemuannya dengan Dr C.L Van Doorn Seorang Ahli Kehutanan Tropis yang diutus oleh NCSV (Nederlanche Cristelijke Studenten Vereiging) guna melayani mahasiswa Kristen di Hindia Belanda. Leimena saat itu sementara melanjutkan studinya di STOVIA. Mereka berdua kemudian mendirikan CSV op Java pada tanggal 28 Desember 1932 di Kaliurang Yogjakarta.
Sebenarnya sebelum tahun 1924 sudah ada organisasi mahasiswa Kristen yang berdiri secara spontan. Di Jakarta sendiri ada “Vereniging Christelijke Studenten” yang dipimpin oleh Leimena dan Tindas. Mereka malah mempunyai organ yang bernama Wegwijzer (Petunjuk Jalan) yang terbit sampai tahun 1924.
Di Bandung ada “Bandung CSV” dan “ De Dageraad” (Fajar) dengan sebuah organ yang bernama “De Christelijke Jonglingenbade” dengan redaksi W.H.Tutuarima dan J. Wattimena. Di Surabaya sejak tahun 1913 para pelajar NIAS terlah mendirikan “Jong Indie”. Sepanjang sejarahnya selama 12 Tahun CSV op Java dipimpin oleh Leimena (1932-1936), Mr Khouw (1936-1939), dan Kemabli Leimena (1939-1942).
Tonggak sejarah cukup penting dalam kehidupan CSV op Java ketika dilaksanakannya Konperensi Citerup pada tahun 1933 yang diprakarsai oleh WSCF, konprensi ini dihadiri oleh GMK-GMK se-Asia. Leimena dalam sambutannya menjelaskan Tugas CSV op Java yang harus berjuang dalam konteks penjajahan dan pergerakan nasional. “ The Indonesian Christian Student must not shouw that bicause being christian, they also belong to the “sana” (Eraopean Grup), but that their vocation and Christian duty is to work altogether as felow workes in the building up of Indonesian people, to Which they folk and that they must realize that bicause they have had the adventage of education, They are priviladged calss”
Pemikiran dan sikap Nasionalisme dan Kekristenan Leimena sebenarnya banyak diasah ketika Leimena aktif dalam CSV op Java. Perjumpaannya dengan C.L Van Doorn dalam penalaan Alkitab semakin memperkuat sikapnya untuk berjuang bersama bangsanya melawan kolonialisme yang mindas hak-hak asasi manusia.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia selama kurang lebih tiga tahun sejak tahun 1942, pemerintah kolonial Jepang melarang kegiatan-kegiatan oprganisasi yang dibentuk di zaman Hindia Belanda. Hal yang sama juga berlaku kepada CSV op Java yang didirikan di Zaman Hindia Belanda, CSV op Java secara organisatoris otomatis berhenti melakukan aktivitas. Namun pertemuannya secara terselubung antara anggota-anggotanya masih terus dilakukan.
Hal ini disebabkan pemerintah kolonial waktu itu masih memberikan kelonggaran menyelenggarakan pertemuan-pertemuan dengan syarat dilaporkan terlebih dahulu (tempat, waktu dan peserta). Di Jakarta misalnya masih diselenggarakan Hari Doa Mahasiswa se-Dunia (HDMS) bertempat di STT Jakarta.
Selain itu setiap minggu sekitar 15 Orang masih berkumpul di Bijbelkring yang dipimpin oleh Sucipto mantan sekretaris CSV op Java. Setelah Proklamasi ketika para pemuda membentuk berbagi barisan untuk mempertahankan proklamasi, mahasiswa hukum dan kedokteran membentuk satu organisasi mahasiswa kristen menggantikan CSV op Java. Organisasi yang dibentuk di STT Jakarta itu namanya PMKI (Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia) yang diketuai oleh Johanes Leimena dan O.E. Enggelen sebagai sekretarisnya.
Di sisi yang lain muncul pula CSV Baru yang lebih berpihak kepada pemerintah Belanda. Kedua organisasi ini tidak dapat ketemu karena berbeda pandangannya tentang perjuangan nasional saat itu, Karena menyadari betapa rumitnya hubungan PMKI dan CSV maka sejak bulan Februari 1949, di Jakarta telah dibentuk satu “JOINT CAOMITTE” PMKI dan CSV untuk mencari penyelesaian masalah itu. Anggotanya terdiri dari J.Ch.L.Abineno, Ds.J.Boland dan Dr.O.E.Engelen.Penyelesaian Konflik Indonesia-Belanda malalui perundingan dalam Konprensi Meja Bundar (KMB) turut membawa angin segar bagi penyatuan kedua organisasi ini.
Pada tanggal 9 Februari 1950, diadakan rapat di rumah Dr Johanes Leimena yang meng hasilkan satu kompromi. Kedua organisasi ini bersepakat membentuk satu organisasi baru untuk menampung anggota kedua organisasi ini, organisasi ini yang kemudian dikenal dengan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), “Om Jo” kemudian ditetapkan sebagai ketua umum pertama.
Pada saat itu Leimena menyampaikan pidato monumentalnya kepada GMKI : “Tindakan ini adalah suatu tindakan historis bagi dunia mahasiswa umumnya dan masyarakat Kristen Khususnya. GMKI menjadilah pelopor dari semua kebaktian yang akan dan mungkin harus dilakukan di Indonesia. GMKI menjadilah sebuah pusat Sekolah Latihan (leerschool) daripada orang-orang yang mau bertanggung jawab atas segala sesuatu yang mengenai kepentingan dan kebaikan dari pada negara dan bangsa Indonesia. GMKI bukanlah merupakan Gesselschaft malainkan ia adalah suatu Gemeinschaft, persekutuan dengan Kristus Tuhannya. Dengan demikian ia berakar baik dalam Gereja, maupun dalam nusa dan bangsa. Ia berdiri ditengah-tengah dua Proklamasi: Proklamasi Kemerdekaan dan Proklamasi Tuhan Yesus Kristus dengan injil kehidupan, kematian dan kebangkitan-Nya……”

3. Kiprah Leimena Dalam Pemerintahan Indonesia
Untuk itu maka, melalui tulisan ini Kami berharap Orang Maluku dan Potensi Bangsa Indonesia dapat kembali memberikan nilai penghargaan yang layak bagi Sosok seorang Dr. Johanes Leimena.
Menelusuri kiprah Om Jo dalam pemerintahan dimulai dengan jejak pendidikannya. Jenjeng pendidikan pertama adalah Christelijke Europeesche Lagere School, tamat tahun 1919 kemudian melanjutkan pendidikan MULO Jakart, tamat pada tahun 1922. Selanjutnya STOVIA Jakarta, tamat pada tahun 1930. Om Jo kemudian melanjutkan pendidikan Kedokteran di Doctor in de Geneskunde, tamat pada tahun 1939.
Karier Pegawai Negeri Om Jo, antara lain Pegawai Tinggi Departemen Kesehatan RI, mulai 30 Juli 1953 s/d 09 April1957. Sebagai orang yang aktif dalam pemerintahan, Om Jo pernah dipercayakan dalam jabatan sebagai Menteri Muda Kesehatan dalam pemeritahan yang terbentuk pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945. Setelah penyerahan kedaulatan dari pemerintahan colonial belanda ke Pemerintahan Indonesia (Desember 1949) terbentuklah Pemerintahan RIS, dimana Om Jo menjabat Menteri Kesehatan sampai pada pemeritahan NKRI (Terbentuk Agustus 1950).
Kiprah Om Jo dalam Pemerintahan lebih menonjol pada periode pemerintahan demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno (1960 – 1967), dimana dokumen Negara RI mencatat Dr. Johanes Leimena (Om Jo) pernah memegang jabatan Wakil Perdana Menteri, Pejabat Presiden, dan Sekretaris Negara.
Jabatan lain dalam lembaga tinggi Negara antara lain Anggota DPR RI / Anggota Konstituante/Wakil Ketua Konstituante RI (Tahun 1956 – 1959), Carataker Wakil KetuaI Dewan Pertimbangan Agung RI (Tanggal 26 Juli 1966 sampai 14 Februari 1968), Anggota Dewan Pertimbangan Agung RI (Tanggal 14 Februari 1968 sampai 8 Agustus 1973).
Atas komitmen yang kuat dari Om Jo dalam membangun Bangsa ini, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan sejumlah tanda jasa/kehormatan diantaranya Bintang Gerilya, Bintang Mahaputra Kelas II, Satya Lancana Pembangunan, Satya Lancana Kemerdekaan, Satya Lancana Karya Satya Kelas I. Selain itu juga dari Pemerintahan Negara – Negara Asing diantaranya Sikatuna Lokan (Filipina), Condor de Los Andes (Bolivia), The Order 23rd of Agustus’2nd Class (Rumania), Ordenom Yugoslavenska Zet tave I Ridar (Yugoslavia), Al Merito (Ekuador), Bintang Penghargaan (Thailand), Bintang Penghargaan Republik Persatuan Arab, Bintang Jasa dan Penghormatan (Kamboja), Bintang Jasa dan Penghormatan (Meksiko).
Dari paparan diatas, jelas bagi kita bahwa seorang Dr Johanes Leimena punya komitmen yang kuat dalam kemajuan bangsa ini. Karenanya sudah selayaknya saat ini kita memberikan penghargaan kepada beliau sebagai bentuk penghormatan tertinggi bangsa ini.



Meja Makan ; Sarana Mendidik (oleh Ronny Tamaela)

Meja Makan ; Sarana Mendidik

oleh Ronny Tamaela pada 22 Juni 2011
Asumsi Meja Makan
Semua orang pasti memahami dan tahu tentang apa itu meja, benda tersebut berasal dari material kayu yang dibentuk dari gerak ide sebagai abstraksi dan meja menjadi bentuk matreal.Meja adalah kenyataan dari gagasan manusia, sebagai hasil cipta dari ide. Meja sebagai hasil cipta manusia tentu diciptakan dalam asa pemanfaatan guna dipakai sebagai kebutuhan.Kebutuhan tersebut sering dipakai untuk meperindah ruang tamu sebagai hiasan perabot ruangan tamu, atau biasanya digunakan tempat untuk menyajikan makanan,dan sesuai porsi apa saja dengan kebutuhan kita dengan meja itu sendiri.

Meja dalam kosmologi maluku sebagai tempat duduk bersama untuk memecahkan masalah, sebagai sarana berdialog, makan patita, meja makan adalah media tradisonal yang selalu ada untuk bisa menujukan rasa kekeluragaan yang tingg dari sebuah peradaban masyarakat sosial yang luas dan bahkan dalam linggkup klan (keluaraga). Meja dalam asumsi lebih terarah dan yang ingin saya lihat adalah meja makan. 

Meja dalam fungsinya ternyata memiliki arti yang tersendiri sebagai sebuah tempat sajian. Mungkin sederhana menceritakan meja dengan fungsinya bagi kebutuhan manusia. Dalam ruang waktu tertentu kita bisa menggunakan meja sebagai apa yang kita inginkan, kenapa demikian, meja hanya bendah mati yang sesuka hati dan keinginankan kita untuk gunakan. Hal yang sering digunakan sebagai fungsi meja oleh kita adalah, meja berfungsi sebagai tempat sajian makanan keluarga. 

Meja Makan Sebagai Tradisi
Melihat kebiasaan setiap hari dari warisan keluarga, kita memiliki banyak cerita tentang tradisi meja makan. Siapa pun, di mana pun, sebuah tatanan keluarga dalam penataan tata-ruang tentu ada tempat untuk meporsikan meja sebagai tempat makan keluarga. Artinya apa? Ada sebua penataan tempat untuk duduk bersama untuk keluaraga. Keliahayatanya meja makan sebagai tempat berjumpa dan berkumpul untuk duduk bersama pada waktu tertentu tepat pada jam makan.

Meja makan dalam tradisi selalu mengandung pesan-pesan hidup (ilmu hidup). Di meja makan bukan saja makan tetapi biasanya dinamika dipenuhi dengan gagasan interaksi satu dengan yang lain. Ambil makanan jang lebih dari pada yang laeng (inga-inga orang laeng), laeng sayang laeng, dll.Dengan melihat kearifan yang sederhana itu maka mencertikan pengalaman tersebut sebaagai gagasan kebaikan untuk kembalih mempertimkan guna dan manfaat untuk kenyataan hidup kita hidup dalam perubahan sosial masyarakat.

Menceritakan ulang setiap kenyataan kehidupan keluarga kita pada konteks meja makan, tentunya memiliki cerita-cerita yang bervariasi dengan pesan dan kesan tersendiri sebagai bentuk respon penghormatan terhadap meja makan tersebut.

Meceritakan kisah sendiri, mengulang sambil melakukan tanggapan terhadap tatanan nilai yang sejak lama telah ditanam sebagai kebaikan-kebaikan hidup. Sekarang saya pun tidak tahu bagaimana meja makan tersebut masih dimaknakan lagi ataukah tidak bagi kehidupan keluarga ataukah tidak.

Saya hidup di keluarga yang sederhana, mama dan bapa (tata) saya bekerja sebagai seorang petani. Kehidupan kami sesunggunya bergantung dari hasil kebun dan sekali-kali hasil laut. Keseharian mereka melakukan aktifitas rutin untuk mencari nafka dengan pergi berkebun (kabong)

Jadwal pergi itu dijalani selama satu (1) minggu atau tujuh (7) hari penuh dan hari minggu adalah waktu istirahat. Awal berangkat, pergi pagi, tepat jam tujuh pagi (07.00) WIT bersamaan dengan saya berangkat ke sekolah dan melakukan perjalanan dengan jaraknya rata-rata adalah sekitar 15-20 km. Biasanya mereka pulang dan mengakhiri pekerjaan dikebun untuk aktifitas satu hari pada pukul lima sore (17.00) WIT dan perjalanan pulang bisa sampai di rumah sekitar jam enam sore (18.00) WIT sampai Jam tujuh malam (19.00)WIT.

Aktifitas harian yang seperti ini kalau mama dan bapa (tata) pulang dari kebun biasanya saudara (kaka) perempuan sudah menyipakan makanan untuk makan bersama. Hidangan kaladi, ikan sayur lengkap sambal sudah ada dan kalau orang tua baru pulang dari kebun (kabong) lebih sedap makan papeda jadi harus tunggu untuk bikin papeda. Semuanya baru lengkap...!!

Ketika semua makanan sudah lengkap tersaji di meja makan seterusnya, semua sama-sama dipanggil untuk makan. Biasanya sebelum makan ada salah satu dari kita adik berkakak yang ditunjuk untuk berdoa, atau langsung didoakan oleh bapak atau mama untuk berdoa. Setelah itu semuanya makan bersama, biasanya ada syarat-syarat yang selalu dijanjikan (janjian-janjian) pada waktu duduk di meja makan, “ingatang..!! kalau makan timbah makan jang babunyi, makan jangan berbicara (bacarita), jangan pernah kasi tinggal makanan di meja makan kalau belum selesai makan (apa pun alasanya), kalau hidop orang adi-kaka laeng musti sayang laeng, jang hidop deng baku mara .

Biasanya penutup dari acara makan itu, bapa sudah mulai memberikan nasehat (kasi bicara) bagaimana sudahnya kehidupan, selalu saja bagaimana mencari nafka dengan cara berkebun (mencari tulang). Sehingga yang tebagun adalah motifasi untuk kehidupan saya dan seluruh bersama yang ada untuk punya orientasi hidup kedepan. Setelah itu baru berdoa kembali bersama untuk mengakhiri seluruh makan itu.

Apa yang menarik dari meja makan..??
Kelihatannya deskripsi cerita tersebut cuma cerita biasa. Apa kaitannya dengan internalisasi nilai meja makan tersebut. Dari cerita tesebut berupaya memberi gambaran untuk melihat seperti apa peranan meja makan dalam kenyataan kehidupan sosial keluarga.

Dari pola sederhana aktifitas kehidupan masyarakat, hampi seluruh kehidupan sebuah keluarga memiliki tingkat aktifitas pekerjaan yang menyita waktu seluruh anggota keluarga, entah dari pekerjaan dari orang atau anak-anak dengan aktifitas sekolah dll. Penyita waktu dalam pengertian tingkat kesibukan mengurangi waktu untuk bagaimana orang tua bertanggungjawab untuk menjalankan peran sebagai pengayom dalam peran mendidik keluarga dalam hal ini anak-anak. 

Meja makan menyajikan waktu untuk mengumpulkan keluarga secarah utuh setiap hari tanpa menunggu waktu yang tepat untuk berjumpa dan berdialog secara mendalam dengan seisi keluarga, istri, anak-anak. Dialog yang dimaksudkan adalah nasehat-nasehat yang diberikan oleh orang tua. Tetapi dalam kenyataannya bahwa nasehat dimeja makan merupakan komunikasi yang satu arah sebagai kelemahan yang ada pada komunikasi tersebut. Kelemahan tersebut bukan berarti tidak layak untuk dipakai tetapi bahwa meja-makan telah menyajikan suasana (kontak) dan embrio untuk melakukan pendidikan yang berbasis dialog dua arah orang tua dan anak. lebih jauh mengalih itu bisa dibandingkan dengan pemikiran paulo freire tentang pendidikan yang membebaskan. 

Peringatan untuk tidak boleh meninggalkan meja makan merupakan bentuk bentuk pengharagaan terhadap makanan. Bukan sekedar makanan tetapi menghargai jerih payah dan usaha. Jangan meninggalkan meja makan merupakan bentuk sakralisasi meja makan yang bertujuan untuk menumbuhkan rasa penghargaan terhadap makanan.

Penghargaan terhadap makanan sebagai penghargaan jerih payah atau usaha yang dilakukan sebagai perjuangan hidup, bagaimana merasakan upaya mendapat makanan dengan hasil dengan berkebun, bekerja ditenggah-tengah terik matahari. Kelelahan dan kesengsaraan adalah kesengsaraan diri sendiri dari orang tua. Hal tersebut menujukan bagaimana menghargai harus di mulai dari sendiri, sehingga menjadi gaya hidup untuk berjumpa dengan orang lain.

Meja makan memeberi ruang sebagai wahana emosional untuk mengikat emosianal keluarga. Ada bahasa yang sederhana “ingatang laeng sayang laeng, janga laeng mara laeng”. Secara sadar dan sederhana orang tua membangun karakter anaknya untuk saling mengharagai, mengasihi sesama saudara tetapi , walaupun itu terbatas pada ikatan solidararitas keluarga. 

Meja makan VS Makan Cepat Saji!!   
Modernitas merupakan era dimana kita hidup didunia seakan-akan segalanya menjadi mudah. Kemudahan dapat diperoleh dengan "asal ada uang semua beres", dengan uang kita bisa mendapatkan segala kebutuhan dengan cepat, lesat, tanpa bersuah payah untuk sebuah peroses pengolahan. 

Tak terhindarkan, kita di Ambon juga mengalami apa yang dinamakan dengan modern. Tampak bahwa hampir dibeberapa waktu terakhir bermunculan berabagai tokoh-tokoh hp, laptop yang menawarkan berbagai produk baru yang mungkin duluh kita melihat barang-barang tersebut sebagai barang mewah tetapi tidak lagi karena yang penting ada uang semua dapat dimiliki. 

Selain barang-barang elktronik tetapi juga bahwa ada sekian banyak menu siap saji dengan gaya penyajian modern yang begitu dipesan dalam waktu yang cukup singkat maka hadirlah menu istimewa, siap santap. Khusus untuk tempat-tempat makan siap saji seperti KFC, CFC dll, adalah tempat yang dikonstruksi sedemikian rupa sehingga menarik dan nyaman untuk pelanggan atau orang yang berkunjung sedap menikmati hidangan. Dari segi suasana enak untuk memanjakan diri sambil menikmati. Terserah bahwa siapa siapa saja yang datang ingin bercerita, mau tertawa, bercanda sampai naikan kaki setinggi tingginya tidak menjadi masalah.

Tawaran-tawaran kenyataan moderen seperti ini menjadi sangat menarik bagi siapa saja, baik orang tua, dewasa, remaja bahkan anak-anak. Dunia modern selalu menawarkan inovasi-inovasi, dan siapa yang terlambat maka ketinggalan. Hal-hal ini sangat menarik dan cepat mengambil simpati semua orang. 

Memandang tawaran-tawar modern sebenarnya juga memiliki nilai positif dari segi waktu, dari segi informasi, dan komunikasi. Aktifitas seseorang yang padat dan tidak punya banyak waktu, harus masak dan makan maka makanan cepat saji jawabannya, untuk menghubungi klien, atau teman kerja dengan cepat orang berkomunikasi, mau mendapatkan informasi tetang kebutuhan tugas, kantoran, makan internetan jawabannya. Segala hal menjadi cepat dan mudah untuk dicapai. Wahhh..mantap e

Mengingat meja makan hari ini mungkin tidak relevan lagi untuk seseorang yang sibuk, anak sekolah stres karena tantangan pendidikan yang makin memacu, atapun menu masakan yang yang monoton. Apa lagi santapan nasehat yang membuat otak di kepala mau pecah dengan banyak arahan yang berbelit-belit.

 Dari perubahan-perubahan sosial demikin, pentingkah untuk kembali melihat tradisi-tradisi kita untuk bisa mengawal sikap hidup kita. Kita telah mengalami modernisasi dan hal tersebut tidak dapat dihindari dengan cara menolak secara keras, tetapi mungkinkah kita hanya mengikuti apa yang dikomandokan oleh modernisasi?tentunya kita tidak bisa membiarkan diri kita diserap tanpa melakukan pertimbangan bahwa apakah ini baik untuk kita atauka tidak. Gagasan meja makan ini hanya ingin mengingatkan kita untuk membanding-banding pola-pola perubahan terhadap hidup kita dan memberi penawaran untuk tetap melihat kearifan-kearifan kita sebagai manusia, sebagai orang maluku yang berperadaban tinggi.

Sedikit kegelisahan untuk kembali mempertimbangkan tradisi meja makan sebagai sarana mendidik dengan membuat komparasi pada perubahan sosial masyarakat pada dunia memberi kita untuk berhati-hati dengan untuk melakukan pilihan-pilahan dalam hidup bermasyarakat. Pilihan-pilihan yang dimaksudakan adalah kita tetap mengikuti perkembangan masyarakat tetapi seharusnya ada hal-hal yang tetap mengontrol untuk tetap menjaga kebaikan-kebaikan hidup dalam kelompok masyarakat.

Hormat!!
 

Senin, 26 September 2011

Narasi Damai Di Tengah Keganasan Informasi Konflik Ambon 11 September 2011 (Ronny Tamaela)

Narasi Damai Di Tengah Keganasan Informasi Konflik Ambon 11 September 2011

oleh Ronny Tamaela pada 20 September 2011 jam 3:24
mahasiswa PPs program studi agama dan kebudayaan teologi UKIM.
Katong Basudara Lintas Iman

Kericuhan yang berwal dari kematian "tukang ojek" pada Sabtu 10 Sept 2011 dengan segera menebar ketegangan yang amat sangat bagi seluruh warga Kota ambon. Ingatan terhadap ganasnya konflik 1999-2004 seakan menjadi pemicu yang memutar mesin ketegangan masyarakat secara cepat. Banyak orang dengan segera mengumbar tuturan tentang dampak konflik 1999, sambil mempersiapkan diri untuk menyelamatkan keluarganya, atau juga untuk membela komunitasnya masing-masing. 

Bersamaan dengan terpicunya kericuhan pada hari Minggu, 11 september 2011 kemarin, seharusnya saya bergabung bersama beberapa teman yang berencana pergi ke kota Ambon untuk mengikuti kegiatan analisa sosial yang diselenggarakan oleh Sinode GPM bagi departemen-departemen terkait, dan bertempat di aula kantor sinode GPM. Rencana itu kemudian saya batalkan karena dihubungi oleh bung Stanley Ferdinandus untuk menghadiri perayaan ulang tahunnya yang ke-26 di pantai Natsepa. Sambil menunggu teman-teman yang akan datang, saya memperoleh informasi dari beberapa teman lewat pesan pendek (sms), yang memberitahukan terjadinya kericuan antar warga di Ambon, akibat kematian seorang tukang ojek. Awalnya saya berpikir bahwa hal ini merupakan masalah kriminal biasa, dan akan berakhir dengan sendirinya, karenanya saya memutuskan untuk menuju pantai Natsepa seorang diri, karena teman-teman lainnya dari Ambon membatalkan kedatangannya sebagai akibat kericuhan itu.

Di pantai Natsepa, menjelang dilangsungkannya perayaan HUT bung Stanley, saya menginformasikan kehadiran rekan-rekan dan adik-adik Muslim diantara kami. Bersama kami mereka ingin merasakan kebahagiaan Bung Stanley hari itu. Perayaan berlangsung meriah, diwarnai tawa dan canda di bibir ombak yang membuih putih. Beberapa saat setelah berakhirnya keriangan ulang tahun itu, salah seorang sahabat kami memberitahukan bahwa kericuhan di pusat Kota Ambon telah membesar menjadi konflik komunal. Medengar informasi itu, semua rekan terlihat bergegas menghubungi keluarga dan temannya di Ambon, untuk mengetahui perkembangan konflik, baik di daerah komunitas Muslim,maupun sebaliknya di wilayah-wilayah dominan Kristen. 

Ternyata informasi itu benar, dan seketika keriangan pantai Natsepa disergap kesunyian yang mencekam.  Bergegas saya meninggalkan natsepa menuju ke rumah untuk memantau informasi dan perkembangan di kota Ambon. Dengan segera berbagai informasi dari media-media online saya kumpulkan, untuk mengetahui kondisi terakhir di pusat Kota Ambon, sambil sesekali menggeretakan gigi dengan kesal akibat koneksi internet yang tersedat-sendat.

Sejak jam itu saya mulai menelusuri dan mengumpulkan berita-berita tentang konflik Ambon dari berbagai media online yg bisa diakses dari rumah saya, yang terletak sejauh kurang lebih 15 km. Sebagaimana biasanya, ketika konflik sektarian terpicu maka ruas jalan masuk ke pusat Kota Ambon dari arah Galunggung-Batu Merah tidak akan dilewati oleh umumnya warga Kristen seperti saya. Oleh karenanya saya memutuskan untuk memantau perkembangan pusat kota dari berita-berita online yang diakses, atau dari informasi telpon dan SMS yang diperoleh dari teman-teman saya di pusat kota. Sepanjang hari peratama, ketegangan saya memuncak membaca berita-berita online, yang pada umumnya menggambarkan sisi destruktif dari konflik yang bereskalasi dengan cepat. Salah satu diantaranya yang saya temukan sebagai contoh adalah headline berita dari sebuah media yang tercetak dengan huruf kapital, Tertembak di Dagu, Korban Tewas Bertambah, 200 Personel Brimob Diberangkatkan dari Makassar ke Ambon, Kabareskrim: Ricuh Ambon Dipicu Kecelakaan Lalu Lintas Tunggal, Ambon Mencekam, Warga Mengungsi ke Masjid.”

Membaca berita-berita seperti di atas menginisiasi saya untuk mengkampanyekan perdamaian lewat media sosial, seperti facebook, twitter, dll. Inisiatif mengkampanyekan narasi-narasi damai mrupakan upaya perlawanan saya terhadap narasi-narasi perang yang mendominasi banyak media. Dengan begitu masyarakat bisa memperoleh imbangan yang memadai untuk menyeimbangkan diri mereka diantara narasi-narasi perang yang menggempur pikiran dan perasaan dari jam ke jam.

Narasi Damai di bawah Tugu Trikora
Memantau situasi kota dari jarak jauh ternyata menggelisahkan saya. Akhirnya saya memutuskan untuk memasuki pusat kota Ambon dengan menempuh jalan memutar di gunung, yang pemukiman sepanjang jalannya terdiri dari negeri-negeri adat yang beragama Kristen. Saya akhirnya memasuki pusat Kota Ambon, dan menemukan aura ketegangan, kemarahan, serta kebencian yang telah mendominasi mayoritas masyarakat sepanjang jalan yang dilewati. Sesungguhnya alasan lain bagi saya untuk bergabung ke pusat kota, karena saya memperoleh informasi bahwa Ino dan bung Stanley, teman-teman saya, telah kehilngan rumah mereka akibat pembakaran yang terjadi di wilayah Mardika. Dengan tidak terduga, saya kemudian bertemu kedua teman ini, serta lainnya, di kantor litbang GPM. Saat berjumpa, sempat saya tanyakan kondisi rekan-rekan Muslim yang bergabung dalam perayaan HUT Stanley kemarin. Syukurlah, dari jawaban bung Stanley saya tahu bahwa mereka semua telah diantarkan pulang dengan selamat oleh Bung Stanley. Suatu tindakan yang menggetarkan, melakukan tindakan penyelamatan, justru dalam posisinya sebagai korban.

Dalam perjumpaan siang itu, kami berkesempatan menonton rekaman video mengenai benturan kelompok masyarakat di daerah tugu Trikora sehari sebelumnya. Video berdurasi sekitar 25 menit itu menghamparkan kondisi sekitar tugu Trikora yang sangat diwarnai aura kemarahan. Menariknya, diantara dinamika konflik itu kami menemukan sebuah sequen kemanusiaan yang sungguh menggelembungkan harapan terhadap menurunnya emosi kolektif warga.

Dalam tampakan rekaman video itu, di bawah hujan ribuan batu, seketika hadir bapak gubernur Maluku untuk dan menghardik kedua kelompok uang bertikai untuk menghentikan lemparan-lemparan batu itu. Upaya itu tak berhasil, bahkan gubernurpun turut dihujani batu. Dalam cekaman ketegangan itu, tiba-tiba terdengar teriakan, "stop dolo, ada orang yang mau lewat, pindah dolo, kasi jalang par dong mau lewat", (berhenti dulu, ada orang mau lewat, beri jalan buat mereka yang mau lewat). Seketika lemparan batu  berhenti di kedua komunitas, dan kerumunan pemuda itu membiarkan lebih kurang 10 arang "basudara Salam"/saudara Muslim, yang berjalan dari arah Urimesing, melewati kerumunan masa sarane/Kristen menuju ke kerumunan masa salam/Muslim yang menumpuk sepanjang ruas jalan A.M Sangaji, yang melintang lurus ke arah pelabuhan. Sejenak ketika mereka melewati wilayah demarkasi diantara kedua kelompok masa, yang sedang terpanggang amarah itu, aksi saling lempar berlanjut lagi.

Kisah kecil di atas terkesan menggelikan, apalagi bila membandingkan kehadiran bapak Gubernur, yang tetap dihujani batu, dengan situasi terhentinya lemparan batu karena 10 saudara Muslim akan melintasi kerumunan masa. Sekalipun lucu, dan menyebabkan beberapa rekan tertawa sejenak, namun penggalan kecil rekaman video itu mengguratkan sebuah realitas penyeimbang terhadap dominannya narasi perang dalam atmosphere Kota Ambon di saat itu.  Disaat meningkatnya eskalasi ketegangan dari menit ke menit, serta dominasi aura kebencian dan permusuhan pada kelompok lain yang tak seiman, ternyata masih tersedia  ruang bagi terciptanya sebuah tindakan baik bagi sesama. Hal ini menjadi bukti bahwa masyarakat telah belajar untuk menjadi semakin rasional, dengan melokalisir kericuhan kelompok hanya pada mereka yang saling berhadapan. Dibalik itu, prinsip-prinsip kasih sayang, orang basudara/orang bersaudara, serta nilai-nilai lokal relasi kemanusiaan telah semakin tinggi dijunjung. Hal yang tentunya sulit sekali ditemukan dalam ketegangan konflik tahun 1999.

Tanpa terasa sequen video di atas menyergap dan mengharukan kedalaman batin saya. Keharuan ini menuntun saya untuk menuangkannya dalam bentuk narasi damai. Sebuah sequen kemanusiaan kecil, namun memiliki kekayaan makna yang luar biasa besar. Sebuah ungkapan sikap kemanusiaan yang pro hidup, sekalipun hanya sekelebat hadir, diantara dominasi sikap pro-mati yang membuncah keluar dari teriakan-teriakan penuh amarah dan kebencian, disepanjang ruas jalan itu.  Disini saya sadar, bahwa diantara gejolak konflik sepanas apapun, selalu saja ada aspek sejuk kemanusiaan, yang harus dicermati dan ditangkap oleh setiap mereka yang mencintai damai; untuk kemudian mengemasnya dalam narasi-narasi damai yang bisa digunakan untuk memprovokasi lahirnya perdamaian. 

Disayangkan bahw tak selamanya narasi damai ini dikemas media, sebagai penyeimbang narasi konflik. Entah mengapa, banyak media informasi cenderung berpihak pada narasi konflik. Saya bukanlah orang media, namun saya bisa merasakannya sebagai bagian dari rakyat kecil yang mengkonsumsi berita-berita media arus utama; sekaligus yang mendambakan hadirnya media sebagai instrumen rekonsiliasi bagi kelompok-kelompok yang bertikai. Meskipun demikian, tentunya saya tak harus berlama-lama memendam kekecewaan, ataupun bersungut-sungut tanpa melakukan sesuatu. Kegalauan ini memicu saya, dan teman-teman provokator damai, untuk menangkap setiap sequen damai, dari rangkaian gejolak kericuhan baru di kota ini. Merangkainya, dan membaginya kepada setiap saudara, merupakan salah satu strategi bersama diantara kami, yang terus menerus melakukan perlawanan terhadap  mereka, yang selalu berdiri angkuh, dan dengan tangan terkepal memprovokasi pertikaian diantara sesama orang basudara.

Terima kasih untuk teman-teman provokator damai, yang bahu membahu membangun narasi-narasi damai, dan menyirami kesejukan di tengah masyarakat. Tentunya kisah-kisah kita masih berlanjut, dalam rajutan perjalanan orang basudara. Menganyam setiap narasi damai bukanlah karena kita ingin disebut pembawa damai, tetapi karena kita "Su palasi"/sudah bertaubat, setelah menyadari bahwa konflik 1999-2004 semata-mata menghasilkan kehancuran bagi masa depan bersama. Salam damai buat basudara yang bahu membahu memprovokasi perdamaian, Om Embong, Almascatie, Burhan, Ipang, Ipeh, Kaka Aziz Tunny (Abang Agil), Opa Rudi, Bapa Jack, Morika, Aprino, Weslly, Wirol, Stenley, serta semua basudara lain yang bersama-sama memprovokasi damai didalam kapasitasnya masing-masing. Semoga Ambon Manis tarus jua kio.

Hormat!!





"KORELASI antara KONDISI EKONOMI/KESEJAHTERAAN Masyarakat dgn KERUSUHAN/KONFLIK" studi kasus Konflik Maluku/Ambon.

"KORELASI antara KONDISI EKONOMI/KESEJAHTERAAN Masyarakat dgn KERUSUHAN/KONFLIK"
studi kasus Konflik Maluku/Ambon.
UKSW, 15 September 2011

Kelompok Diskusi MM Ang. XXIII_UKSW melakukan diskusi dengan topik ini dan fokus percapakan tentang "Dampak Pasca Konflik Tehadap Perekonomian Masyarkat". kami tidak mencari penyebab terjadinya Konflik Ambon tahun 1999 dan Konflik 11 September 2011, tetapi percakapan ini kami fokuskan pada dampak konflik dan pascah konflik terhadap perekonomian masyarakat Maluku terkhususnya Kota Ambon.

kami mencoba mengidentifikasi seluruh persoalan perekonomian dan penangannya oleh pemerintah dan para pelaku pasar ketika terjadi konflik di ambon.

Pertama, kami melihat peran pemerintah dalam menjaga kestabilan perekonomian di kota ambon yang berdampak langsung pada kesejahtraan masyarakat ketika konflik. ternyata ditemukan berdasarkan pengalaman adalah ketika terjadi konflik peran dan fungsi pemerintah lebih banyak terfokus pada proses penyelesaikan konflik yang bersifat formalitas dan birokratis yang hasilnya sampai saat ini juga belum terlalu nampak bisa mempengaruhi sisi kemanusiaan yang riil dan bisa diterma oleh seluruk kelompok masyarkat. hal ini menurut kami tidak ada salahnya, tetapi ada salah satu cela atau kelemahan yang itu tidak dilihat oleh pemerintah yaitu 'Dampak Pasca Konflik Tehadap Perekonomian Masyarkat'. kondisi riil yang terjadi ketika terjadi konflik adalah seluruh Fasilitas Publik, BUMN, Bank, Sekolah, Pusat-pusat Perekonomian Masyarakat di tutup, dan untuk mencari alternatif kebutuhan masyarakt sehari-hari (makanan) maka terciptalah suatu pasar yang kontemporer/pasar kaget sebagi pusat kegiatan jual beli barang. namun pasar kontemporer tersebut dipakai oleh para pelaku pasar/produsen untuk mencari keuntungan dari masyarakat lokal dengan menaikan dan menetapkan harga jual yang tinggi dari harga jual normalnya. persoalan inilah yang menurut kami tidak diliha oleh pihak pemerintah, (sudah jatuh, tertimpah tangga pula) pepanah ini rasanya sesuai dengan realitas kondisi masyarakat ketika terjadi konflik di ambon, ketika kerusuhan terjadi masyarakt harus mengungsi karena rumah terbakar atau merasa keamanannya teramcam, bahkan ada yang tidak bekerja, anak-anak tidak bersekolah, hal ini berbanding terbalik dari sisi ekonomi ketika kebutuhan hidup sehari-hari harus terus terpenuhi namun pendapatan menurun atau tidak ada sama sekali, itu kemudian juga bisa menjadi pemicu konflik yang berkepanjangan. dan menurut kami tidak ada campur tangan pemerintah terhadap pengawasan kontemporer tersebut, sehingga kenaikan harga jual itu tidak bisa di kendalikan dan itu sangat merugikan masyarakat ketika terjadi kondisi konflik dan pasca konflik.
persoalan ini yang harus juga dilihat oleh pemerintah, walaupun terjadi konflik tetapi mesti juga melihat dampak perekonomiannya karena itu menyangkut kesejahtraan dan kebutuhan mansayarakat sehari-hari yang tidak bisa di tunda. oleh karena itu walaupun seluruh kantor pelayanan publik tutup dan seluruh pegawai daerah tidak bekerja tetapi harus ada langkah antisipasi atau kebijakan oleh pemerintah Kota atau Provinsi untuk melihat hal ini, kalau hal ini secara bersamaan dilakukan oleh pemerintah, selain proses rekonsiliasi tetapi juga terjadi pengawasan perekonomian pasar maka hal ini bisa membantu 'meminimalisir' potensi konflik di Maluku/Ambon.

Kedua, kondisi riil lain yang juga terjadi adalah terjadi penimbunan/penyimpanan sejumlah produk kebutuhan sehari-hari masyarakat oleh para pelaku pasar/produsan untuk mencari keuntungan saat terjadi konflik, dan hal ini otomatis akan menciptakan kelangkahan produk di pasar, dan ketikan barangnya di jual itu akan meningkatkan harga jual yang tinggi, dan lagi-lagi masyarakat akan dirugikan dalam kondisi konflik tersebut. misalnya, beras, BBM (bahan bakar minyak), sembako dll, semua ini merupakan kebutuhan pokok masyarakat setiap harinya.
hal inilah yang masih merupakan kelamahan pengawasan dari pihak pemerintah, karena seakan-akan ketikan terjadi konflik terkesan yang menjadi ujung tombak penyelesaikan konflik hanya Kepala Daerah, Kapolda, Pangdam, Tokoh-tokoh Masyarakt/Adat/Agama, tetapi kalau pemerinya bijak maka bisa menggerakan sebagian perangkat strukturalnya untuk mengantisipasi beberapa hal yang kami sampaikan di atas. tetapi kami menyadari juga bahwa realitasnya juga tidak demikian, tetapi mau dan tidak mau, suka dan tidak suka kebijakan pemerintah harus juga bisa melihat salah satu dampak pascah konflik yang kami diskusikan ini.

dari hasil  pikiran diskusi yang sederhana ini kami mencoba memberikan solusi pemikiran untuk mengantisipasi 'Dampak Pasca Konflik Tehadap Perekonomian Masyarkat', sebagai berikut:
  1. Pengawasan pasar harus dilakukan pemerintah, terkait dengan;
  • kontrol harga jual di pasar-pasar kontemporer.
  • menyediakan pasar yang kondusif: pengawasan dan pengamanan zona   transaksi barang yang aman untuk menurunkan harga jual di pasar.
  • pengawasan terhadap para pelaku pasar yang coba untuk menimbun/menyimpan produk kebutuhan masyarakt sehari-hari.
2.  PENDIDIKAN; kalau manusia Maluku sudah pintar dan cerdas maka potensi konflik bisa diminimalisir, karena         Pendidikanyang baik akan berdampak pada peningkatan SDM, perekonomian, dan menciptakan manusia maluku yang bermoral baik. (kongkritnya, kurikulum pendidikan lokal harus dimasukan nilai-nilai sosial-budaya, kemajemukan, solidaritas dan etika) menurut kami itu akan sangat bermanfaat untuk meminimalisir potensi konflik horisontal antar kelompok.
3.  BUDAYA; sala satu solusi resolusi konflik maluku yang masih ampuh adalah 'Budaya' niali folosofinya harus tetap di pertahankan dan maknai oleh seluruh manusia maluku.

demikian pemikiran serhana kami yang bisa di tuangkan dalam Kelompok Diskusi MM Ang. XXIII_UKSW. semoga bermanfaat....Tuhan Memberkati.


kelompok diskusi MM Ang. XXIII_UKSW. topik: "KORELASI antara KONDISI EKONOMI/KESEJAHTERAAN Masyarakat dgn KERUSUHAN/KONFLIK" studi kasus Konflik Maluku/Ambon.