Samuel Warella

Kamis, 20 Oktober 2011

DIASPORA ALIFURU

Sejarah adalah titik-titik waktu yang menjelaskan hakekat peradaban sebuah suku bangsa dalam kurun waktu perkembangannya. Saking pentingnya mengingat sejarah, Ir. Soekarno mengangkatnya sebagai tema pidato kenegaraan Pada 17 Agustus 1966 dibawah judul "Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah" yang disingkat JASMERAH.

Medio tahun 2006 penulis sering mondar-mandir di kawasan Gambir Jakarta Pusat untuk satu urusan di Kementerian Luar Negeri yang beralamat di Jalan Pejambon. Pertama kali mendengar nama daerah ini seperti memaksa memori otak saya untuk menghubungkannya dengan nama kota Ambon. Benar saja, dari beberapa referensi yang sempat dibaca ternyata daerah Pejambon dan Pejongkeran, satu kawasan lain di daerah Jakarta Utara adalah bekas hunian orang-orang Ambon jaman kolonial di Batavia.

Jika demikian halnya, maka Alifuru sebagai cikal bakal suku bangsa Maluku pasti memiliki sejarah diaspora. Namun melacaknya ditengah keterbatasan sumber sejarah dan referensi pendukung bagaikan merangkai puzzle yang tersembunyi dikedalaman misteri waktu.
Gelombang Diaspora
Petunjuk diatas akhirnya memberi bukti pemula pada penulis, menjadikan prasasti pejambon dan pejongkeran sebagai tonggak awal dimulainya diaspora suku bangsa Maluku yang dikenal sebagai orang Alifuru. Diaspora orang Maluku tidak hanya terjadi dalam satu kali tetapi dalam beberapa gelombang dalam kurun waktu yang berbeda.
Diaspora jilid I dimulai awal abad ke-16 ketika makin kukuhnya kekuasaan VOC di Maluku setelah meredam berbagai perlawanan rakyat lokal melalui serangkaian ekspedisi menaklukan Kerajaan Hitu (perang wawane dan kapahaha), Huamual (perang huamual), Iha (perang Iha), dan Hatuhaha (perang alaka II).

Saat bekas Gubernur Jenderal Amboina Arnold de Fleming van Oudtshoorn berkedudukan di Batavia, ia berada dalam posisi sulit untuk menumpas perlawanan raja-raja lokal nusantara, sehingga dibentuklah milisi-milisi lokal yang direkrut dari daerah jajahan. Salah satunya adalah milisi-milisi dari Ambon dibawah pimpinan Kapitan Jongker yang juga dikenal sebagai Jongheer van Ambon.
Kapitan Jonker dan pasukannya terlibat di berbagai ekspedisi dalam membantu VOC, antara lain di Timor, pantai barat Sumatera, Sulawesi, pantai timur Jawa, Palembang dan Banten. Termasuk menumpas perlawanan Trunojoyo (1675-1682). Atas jasa-jasanya, ia mendapatkan suatu wilayah di daerah Cilincing, Jakarta Utara dengan sebutan Pejongkeran selain barak militer pasukan Ambon yang diberi nama Pejambon.

Diaspora jilid II dimulai awa abad ke-18 ketika Joannes Benedictus van Heutsz membentuk sebuah pasukan komando untuk meredam gerilya rakyat Aceh. Ide ini melahirkan sebuah pasukan tangguh yang direkrut dari Ambon, Manado dan Jawa. Pasukan ini dikenal sebagai Marsose ditugaskan antara lain dalam pertempuran melawan kerajaan Aceh Darusalam dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Sampai tahun 1912 ketika pasukan Marsose di bawah pimpinan Letnan B.J. Schmidt dibubarkan. Suka duka pasukan elit Marsose dalam ekspedisi Aceh ditulis apik dalam buku Atjeh karya H. C. Zentgraaff mantan serdadu belanda yang kemudian menjadi wartawan.

Diaspora jilid III terjadi pada abad ke-20 berawal Bangsa Maluku yang melakukan perpindahan besar-besaran ke Eropa pada tahun 1952 karena menolak bergabung dengan Indonesia. Mereka umumnya adalah bekas tentara KNIL yang diperbantukan pada tentara reguler Kerajaan Belanda. Tahun 1950, setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, jumlah serdadu KNIL diperkirakan sekitar 60.000 orang. Jumlah orang Ambon diperkirakan sekitar 5.000 orang, yang sebagian besar ikut dibawa ke Belanda dan tinggal di sana sampai sekarang.
Selanjutnya diaspora jilid IV terjadi pada tahun 1991 ketika pemerintah orde baru melalui Hutomo Mandala Putra (Tomi Soeharto) memberlakukan tata niaga cengkeh melalui Badan Penyanggah dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Akibat monopoli tata niaga cengkeh, harga cengkeh sempat terpuruk sampai Rp 2.300 - Rp 2.500 sehingga menghancurkan ekonomi rakyat Maluku yang sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup dari komoditi cengkeh.

Kondisi ini memicu diaspora besar-besaran masyarakat Maluku khususnya anak-anak muda ke kota-kota besar Indonesia seperti Makasar, Manado, Surabaya, Bandung dan Jakarta untuk mengadu nasib memperbaiki ekonomi keluarga.
Sampai kemudian timbul konflik sosial tahun 1999 yang memicu gelombang diaspora besar-besaran ke seluruh pelosok dunia. Selama periode 1999-2003 diperkirakan ada ratusan ribu orang Maluku yang terpaksa eksodus ke daerah-daerah aman bahkan ke luar negeri dan belum sempat kembali ke Maluku. Kini komunitas oran Maluku dapat dijumpai dalam jumlah besar di negara-negara Eropa barat seperti Belanda, Belgia, Perancis kemudian Portugal, Amerika Serikat, Jerman dan beberapa negara lainnya.

Diaspora dan Penderitaan

Diaspora membawa kita ke sebuah memori yang menyimpan sejarah dunia tentang peradaban anak manusia. Ia melahirkan ribuan bahkan jutaan persimpangan dari terminal kosmologi semesta tentang bahasa penderitaan dan penindasan. Dari sana ditemukan jejak-jejak bahasa manusia dari yang halus dan humanis hingga bahasa kekerasan dan tirani.
Sebenarnya ada banyak kosa kata padanan dari kata diaspora itu sendiri. Ambillah, kata migrasi, pengungsian,pengusiran, eksodus, perpindahan dan lainnya. Namun diaspora telah menjelma dalam makna penderitaan dari sebuah konspirasi politik dan intrik kekuasaan sehingga lazim digunakan untuk mendeskripsikan perpindahan sebuah suku bangsadari tanah kelahirannya.

Dalam Wikipedia internasional istilah diaspora adalah akar kata Yunani merujuk kepada bangsa atau penduduk manapun yang terpaksa atau terdorong untuk meninggalkan tanah air tradisional mereka. Asal usul kata itu sendiri diduga dari versi Septuaginta dari Kitab Ulangan 28:25, "sehingga engkau menjadi diaspora (penyebaran) bagi segala kerajaan di bumi". Makna aslinya merujuk secara khusus kepada penduduk Yahudi yang dibuang dari Yudea pada 586 SM oleh Nebukadnezar dari Babilonia, dan Yerusalem pada 135 M oleh Kekaisaran Romawi.

Kamus global wikipedia memberikita dua kata kunci "terpaksa" dan "terdorong" sebagai akar sebab munculnya kata diaspora. Kata-kata kunci ini memberi ruang interpretasi tentang sebuah kekuatan diluar kehendak rakyat yang membuat sekelompok orang beramai-ramai meninggalkan tanah kelahiran tradisional. Diaspora merupakan hukum universal yang tidak menyisakan sedikitpun pengecualian untuk sebuah suku bangsa.

Seorang penulis, Jacob Riis menyimpulkan bahwa diaspora secara massif terbentuk pada pertengahan abad ke-20. Pada masa ini telah terjadi krisis pengungsi etnis besar-besaran, karena peperangan dan bangkitnya nasionalisme, fasisme,komunisme dan rasisme,serta karena berbagai bencana alam dan kehancuran ekonomi. Pada paruhan pertama dari abad ke-20 ratusan juta orang terpaksa mengungsi diseluruh Eropa, Asia, dan Afrika Utara.

Jika menengok sejenak kebelakang, diaspora boleh dikatakan berumur seusia kehadiran manusia di alam semesta. Berawal dari tragedi adam dan hawa (eva) di taman firdaus yang harus eksodus ke muka bumi karena melawan titah langit. Begitu pula yang terjadi dengan keturunan pertama mereka. Qabil pada akhirnya harus melakukan eksodus setelah terlibat konflik perebutan wahyu langit dengan saudara kembarnya yang berakhir dengan tragedi pembunuhan pertama di muka bumi.
Pada akhirnya sejarah akan terus berulang seirama dengan putaran waktu pada 12 digit angka, dan itu berarti pula bahwa diaspora di ruang semesta akan terus berlangsung selama keserakahan dan kesombongan belum diusir dari ruang hati manusia.

Kapitan Merah
Penulis = Ahmad Mony

Tidak ada komentar:

Posting Komentar