Sejarah adalah titik-titik waktu yang menjelaskan hakekat peradaban
sebuah suku bangsa dalam kurun waktu perkembangannya. Saking pentingnya
mengingat sejarah, Ir. Soekarno mengangkatnya sebagai tema pidato
kenegaraan Pada 17 Agustus 1966 dibawah judul "Jangan Sekali-Kali
Melupakan Sejarah" yang disingkat JASMERAH.
Medio tahun 2006 penulis sering mondar-mandir di kawasan Gambir
Jakarta Pusat untuk satu urusan di Kementerian Luar Negeri yang
beralamat di Jalan Pejambon. Pertama kali mendengar nama daerah ini
seperti memaksa memori otak saya untuk menghubungkannya dengan nama kota
Ambon. Benar saja, dari beberapa referensi yang sempat dibaca ternyata
daerah Pejambon dan Pejongkeran, satu kawasan lain di daerah Jakarta
Utara adalah bekas hunian orang-orang Ambon jaman kolonial di Batavia.
Jika demikian halnya, maka Alifuru sebagai cikal bakal suku bangsa
Maluku pasti memiliki sejarah diaspora. Namun melacaknya ditengah
keterbatasan sumber sejarah dan referensi pendukung bagaikan merangkai
puzzle yang tersembunyi dikedalaman misteri waktu.
Gelombang Diaspora
Petunjuk diatas akhirnya memberi bukti pemula pada penulis,
menjadikan prasasti pejambon dan pejongkeran sebagai tonggak awal
dimulainya diaspora suku bangsa Maluku yang dikenal sebagai orang
Alifuru. Diaspora orang Maluku tidak hanya terjadi dalam satu kali
tetapi dalam beberapa gelombang dalam kurun waktu yang berbeda.
Diaspora jilid I dimulai awal abad ke-16 ketika makin kukuhnya
kekuasaan VOC di Maluku setelah meredam berbagai perlawanan rakyat lokal
melalui serangkaian ekspedisi menaklukan Kerajaan Hitu (perang wawane
dan kapahaha), Huamual (perang huamual), Iha (perang Iha), dan Hatuhaha
(perang alaka II).
Saat bekas Gubernur Jenderal Amboina Arnold de Fleming van Oudtshoorn
berkedudukan di Batavia, ia berada dalam posisi sulit untuk menumpas
perlawanan raja-raja lokal nusantara, sehingga dibentuklah milisi-milisi
lokal yang direkrut dari daerah jajahan. Salah satunya adalah
milisi-milisi dari Ambon dibawah pimpinan Kapitan Jongker yang juga
dikenal sebagai Jongheer van Ambon.
Kapitan Jonker dan pasukannya terlibat di berbagai ekspedisi dalam
membantu VOC, antara lain di Timor, pantai barat Sumatera, Sulawesi,
pantai timur Jawa, Palembang dan Banten. Termasuk menumpas perlawanan
Trunojoyo (1675-1682). Atas jasa-jasanya, ia mendapatkan suatu wilayah
di daerah Cilincing, Jakarta Utara dengan sebutan Pejongkeran selain
barak militer pasukan Ambon yang diberi nama Pejambon.
Diaspora jilid II dimulai awa abad ke-18 ketika Joannes Benedictus
van Heutsz membentuk sebuah pasukan komando untuk meredam gerilya rakyat
Aceh. Ide ini melahirkan sebuah pasukan tangguh yang direkrut dari
Ambon, Manado dan Jawa. Pasukan ini dikenal sebagai Marsose ditugaskan
antara lain dalam pertempuran melawan kerajaan Aceh Darusalam dan
mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Sampai tahun 1912 ketika pasukan
Marsose di bawah pimpinan Letnan B.J. Schmidt dibubarkan. Suka duka
pasukan elit Marsose dalam ekspedisi Aceh ditulis apik dalam buku Atjeh
karya H. C. Zentgraaff mantan serdadu belanda yang kemudian menjadi
wartawan.
Diaspora jilid III terjadi pada abad ke-20 berawal Bangsa Maluku yang
melakukan perpindahan besar-besaran ke Eropa pada tahun 1952 karena
menolak bergabung dengan Indonesia. Mereka umumnya adalah bekas tentara
KNIL yang diperbantukan pada tentara reguler Kerajaan Belanda. Tahun
1950, setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik
Indonesia Serikat, jumlah serdadu KNIL diperkirakan sekitar 60.000
orang. Jumlah orang Ambon diperkirakan sekitar 5.000 orang, yang
sebagian besar ikut dibawa ke Belanda dan tinggal di sana sampai
sekarang.
Selanjutnya diaspora jilid IV terjadi pada tahun 1991 ketika
pemerintah orde baru melalui Hutomo Mandala Putra (Tomi Soeharto)
memberlakukan tata niaga cengkeh melalui Badan Penyanggah dan Pemasaran
Cengkeh (BPPC). Akibat monopoli tata niaga cengkeh, harga cengkeh
sempat terpuruk sampai Rp 2.300 - Rp 2.500 sehingga menghancurkan
ekonomi rakyat Maluku yang sebagian besar penduduknya menggantungkan
hidup dari komoditi cengkeh.
Kondisi ini memicu diaspora besar-besaran masyarakat Maluku khususnya
anak-anak muda ke kota-kota besar Indonesia seperti Makasar, Manado,
Surabaya, Bandung dan Jakarta untuk mengadu nasib memperbaiki ekonomi
keluarga.
Sampai kemudian timbul konflik sosial tahun 1999 yang memicu
gelombang diaspora besar-besaran ke seluruh pelosok dunia. Selama
periode 1999-2003 diperkirakan ada ratusan ribu orang Maluku yang
terpaksa eksodus ke daerah-daerah aman bahkan ke luar negeri dan belum
sempat kembali ke Maluku. Kini komunitas oran Maluku dapat dijumpai
dalam jumlah besar di negara-negara Eropa barat seperti Belanda, Belgia,
Perancis kemudian Portugal, Amerika Serikat, Jerman dan beberapa negara
lainnya.
Diaspora dan Penderitaan
Diaspora membawa kita ke sebuah memori yang menyimpan sejarah dunia
tentang peradaban anak manusia. Ia melahirkan ribuan bahkan jutaan
persimpangan dari terminal kosmologi semesta tentang bahasa penderitaan
dan penindasan. Dari sana ditemukan jejak-jejak bahasa manusia dari yang
halus dan humanis hingga bahasa kekerasan dan tirani.
Sebenarnya ada banyak kosa kata padanan dari kata diaspora itu
sendiri. Ambillah, kata migrasi, pengungsian,pengusiran, eksodus,
perpindahan dan lainnya. Namun diaspora telah menjelma dalam makna
penderitaan dari sebuah konspirasi politik dan intrik kekuasaan sehingga
lazim digunakan untuk mendeskripsikan perpindahan sebuah suku
bangsadari tanah kelahirannya.
Dalam Wikipedia internasional istilah diaspora adalah akar kata
Yunani merujuk kepada bangsa atau penduduk manapun yang terpaksa atau
terdorong untuk meninggalkan tanah air tradisional mereka. Asal usul
kata itu sendiri diduga dari versi Septuaginta dari Kitab Ulangan 28:25,
"sehingga engkau menjadi diaspora (penyebaran) bagi segala kerajaan di
bumi". Makna aslinya merujuk secara khusus kepada penduduk Yahudi yang
dibuang dari Yudea pada 586 SM oleh Nebukadnezar dari Babilonia, dan
Yerusalem pada 135 M oleh Kekaisaran Romawi.
Kamus global wikipedia memberikita dua kata kunci "terpaksa" dan
"terdorong" sebagai akar sebab munculnya kata diaspora. Kata-kata kunci
ini memberi ruang interpretasi tentang sebuah kekuatan diluar kehendak
rakyat yang membuat sekelompok orang beramai-ramai meninggalkan tanah
kelahiran tradisional. Diaspora merupakan hukum universal yang tidak
menyisakan sedikitpun pengecualian untuk sebuah suku bangsa.
Seorang penulis, Jacob Riis menyimpulkan bahwa diaspora secara massif
terbentuk pada pertengahan abad ke-20. Pada masa ini telah terjadi
krisis pengungsi etnis besar-besaran, karena peperangan dan bangkitnya
nasionalisme, fasisme,komunisme dan rasisme,serta karena berbagai
bencana alam dan kehancuran ekonomi. Pada paruhan pertama dari abad
ke-20 ratusan juta orang terpaksa mengungsi diseluruh Eropa, Asia, dan
Afrika Utara.
Jika menengok sejenak kebelakang, diaspora boleh dikatakan berumur
seusia kehadiran manusia di alam semesta. Berawal dari tragedi adam dan
hawa (eva) di taman firdaus yang harus eksodus ke muka bumi karena
melawan titah langit. Begitu pula yang terjadi dengan keturunan pertama
mereka. Qabil pada akhirnya harus melakukan eksodus setelah terlibat
konflik perebutan wahyu langit dengan saudara kembarnya yang berakhir
dengan tragedi pembunuhan pertama di muka bumi.
Pada akhirnya sejarah akan terus berulang seirama dengan putaran
waktu pada 12 digit angka, dan itu berarti pula bahwa diaspora di ruang
semesta akan terus berlangsung selama keserakahan dan kesombongan belum
diusir dari ruang hati manusia.
Kapitan Merah
Penulis = Ahmad Mony
Tidak ada komentar:
Posting Komentar