"Idealisir Kaum Pinggiran adalah memandang orang atau hal lebih indah (sempurna) dari yang sebenarnya"
oleh Samuel Y. Warella
oleh Samuel Y. Warella
apa
yang beta mau bicara ini adalah bagian dari sikap emosionalisme
terhadapn realitas nyata menurut beta sesuai dengan apa yang beta temui
diluar ruang gerak beta setiap hari di Ambon dan beta temukan itu di Salatiga dan Yogyakarta.
dalan dinamika keseharian beta di Ambon
sebagai anak negri yang hidup dan tinggal hanya dapat mengenal sesama
ras/suku maluku dilingkungan yang mayoritas, kemudian itu membentuk
sikap dan mental yang subjektif dalam pola pikir dan tindakan
(otokritik). setiap hari bertemu dengan pedagan di pasar, tukang ojek,
tukang becak, tukang bakol, pemulung sampah dan semua orang yang mencari
sesuap nasi hanya dengan mengandalkan kekuatan otot saja. bagi beta itu
sesuatu hal yang wajar dan manusiawi, bahwa untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari mereka harus bekerja dengan OTOT untuk
mendapatkan penghasilan, bahkan ketika masih sekolah kelas 2-3 beta juga
berprofesi sebagai tukang becak, setelah pulang sekolah malmnya beta
secara bergantian menarik becak milik salah seorang teman dengan tujuan
yang sama mendapatkan penghasilan dengan menggunakan kekuatan otot, itu
sepintas pengalaman dan penglihatan yang beta rasakan selama 25 tahun
tinggal di Ambon.
tanggal 6 juli 2011 beta
menginjakan kaki d Kota Salatiga yang katanya kota beriman dan kota
tertua kedua setelah kota jakarta, untuk belajar. dalam dinamika
keseharian yang lebih majemuk, baik lingkungan tempat tinggal dan
kehidupan sosial ekonomi merupakan realitas hidup yang baru yang beta
rasakan. namun dalam keseharian itu hal yang sama yang beta temukan juga
adalah bertemu dengan tukang becak, tukang ojek, pedagan dipasar,
pemulung, tetapi hal barunya adalah ada delman di salatiga tetapi tidak
ada di ambon., "heheeee" dan mereka semua melakukan aktifitasnya
masing-masing dengan tujuan yang sama yaitu mencari penghalisan bagi
kebutuhan sehari-hari hanya dengan menggunakan kekuatan Otot.
dari gambaran singkat tentang dua realitas kehidupan yang beta alami di
dua tempat yang berbeda ini, ada sesuatu hal yang menarik yang beta
jumpai di kota salatiga ini,. suatu ketika setelah pulang kuliah beta
berjalan di Jl. Diponegoro, di persimpangan jalan ini tepatnya di
pinggiran tugu pangeran diponegoro ada sebuah pangkalan becak disitu.
ketika beta melewati pangkalan becak tersebut, beta kaget dan heran
melihat sesuatu yang sebelumnya dalam pengalaman hidup beta belum pernah
beta melihat hal tersebut. dalam beberapa menit b berdiri dan terus
melihat keadaan itu sambil tetap terheran-heran, kemudian beta mendekat
dan meminta ijin dari seoran bapak untuk memotret beliau, dan apa yang
beta liat dan kaget serta memotret itu adalah "seorang tukang becak yang sementara duduk didalam becaknya menunggu penumpang sambil membaca koran terbitan hari itu"
hal ini mungkin bagi sebagian orang merupakan hal yang biasa-biasa
saja, tapi bagi beta ini adalah sesuatu hal yang luar biasa bagi
seseorang yang berprofesi tukang becak, hal ini juga mematahkan
hipotesis beta tentang seseorang yang berprofesi tukang becak dan lainya
itu hanya mencari penghasilan sehari-hari hanya menggunakan kekuatan
OTOT saja tanpa ada sikap yang ingin mengupdate dan menbuka wawasan
berpikir lewat koran misalnya yang dibaca oleh situkang becak tadi.
realitas
ini membuat beta sadar bahwa manusia yang ingin mengembangkan wawasan
berpikirnya tidak terbatas dan dibatasi oleh profesi pekerjaan apa yang
dia lakukan, itu terbuksi dari si tukan becak tadi yang katanya
dikategorikan "Kaum Pinggiran". mungkin ada yang berpikir ini
hal yang wajar dan biasa-biasa saja, namun bagi beta ini hal yang luar
biasa yang baru pernah beta liat disini dan tidak pernah beta liat di
Ambon, entah mungkin ada tetapi beta belum pernah ketemu, tetapi selama
25 tahun hidup d ambon hal semacam ini blm pernah beta temui.
beta
kemudian berpikir apakah ini karnah pengaruh budaya, atau karena
tuntutan ekonomi, atau karena situasi sosial lingkungan tempat tinggal,
atau karena sekedar iseng saja dan ingin membaca koran. tetapi beta
sampai pada satu titik pemikiran bahwa mungkin ini karena situasi sosial
dimana lingkungan tempat tinggal mereka diwarnai dengan dinamika
pendidikan yang cukup maju dan karakter tersebut muncul dengan
sendirinya. hal ini sejalan dengan pikiran "Aristoteles tentang
konsep Etika; dia mengatakan bahwa, karakter yang dibentuk karena
pendidikan, dan pendidikan itu sendiri bersumber dari masyarakat."
konsep ini bagi beta secara tidak sadar itu sudah dipraktekan oleh
situkang becak tadi, bahwa walaupun dengan pendidikan yang paspasan
namun karakternya terbentuk dari dinamika sosial lingkungan sekitar
dimana dia tinggal.
realitas ini juga beta temukan ketika ada di
kota yogyakarta, beta menemukan seorang tukang becak sedang membaca
koran didalam becaknya di sebuah pangkalan becak di salah satu suduk
kota yogyakarta. ini kemudian memperkuat asumsi beta sementara bahwa
karakter ini terbentuk karena dinamika sosial sekitar mereka yang
mempengaruhi wawasan mereka. bahkan ada yang lebih menarik di yogyakarta
ada seoran tukang becak (mas Hary namanya) yang mahir mengoprasikan
laptop dan mencari pelanggannya dengan jejaring sosial (facebook) bahkan
dia juga telah menulis sebuah buku, dan fasih berbahasa inggris dan
belanda (beta jadi maluhati lai...heheheee).
"idealisir kaum pinggiran memandang orang atau hal lebih indah (sempurna) dari yang sebenarnya"
adalah sesuatu pembelajaran ilmu hidup yang beta dapat ketika melihat
realitas ini ada. kiranya lebih banyak lagi tukang becak atau profesi
lain yang menggunakan otok untuk bekerta dapat belajar dari situkang
becak ini...... sukses untuk seluruh ukang becak, Tuhan Berkati dong
samua.
ini sekilas catatan pengalaman hidup dan pembelajaran yang
berarti yang beta terima di salatiga kota beriman, beta jua berharap
tukang-tukang becak di Ambon jua bisa biking hal yang sama lai kaya
cerita ini, kiranya dapat menginspirasi, MARI BANGUN MALUKU juga dari
KAUM PINGGIRAN.... Tete Manis berkati.......MENA
![](http://photos-e.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/281453_1856064654558_1629109191_1597817_7041629_a.jpg)
"si tukang becak"
Bagus tulisannnya. Saya hendak menambahkan bahwa semangat mereka luar biasa. long life education.Sepanjang hidup manusia belajar. entah belajar untuk meningkatkan pemahaman tetapi juga kualitas kehidupannya. Belajar untuk menciptakan kesempatan maupun juga memanfaatkan kesempatan.kalau semua org sama seperti tukang becak yang meningkatkan kepekaan dan memanfaatkan informasi maka kualitas sumber daya manusia Indonesia akan semakin berkualitas.
BalasHapusi love maluku.....
BalasHapusluar biasaa tulisannya...saya jadi kagum dengan para tukang becak yang rajin meng up to date berita2 terkini dengan membaca koran, dengan tulisan ini saya baru melihat sisi lain seorang tukang becak yang mungkin kita anggap sebelah mata, tapi ternyata mereka memiliki kelebihan lain yang tidak kita miliki(menguasai bahasa asing n menulis buku bahkan mencari pelanggan lewat situs jejaring sosial---mungkin kita masih kalah dalam soal ini)hehe...tulisan ini sangat inspiratif...mantap!!!
BalasHapus