Samuel Warella

Senin, 26 September 2011

Idealisir Kaum Pinggiran (Samuel Y. Warella)

"Idealisir Kaum Pinggiran adalah memandang orang atau hal lebih indah (sempurna) dari yang sebenarnya"
oleh Samuel Y. Warella

apa yang beta mau bicara ini adalah bagian dari sikap emosionalisme terhadapn realitas nyata menurut beta sesuai dengan apa yang beta temui diluar ruang gerak beta setiap hari di Ambon dan beta temukan itu di Salatiga dan Yogyakarta.
              dalan dinamika keseharian beta di Ambon sebagai anak negri yang hidup dan tinggal hanya dapat mengenal sesama ras/suku maluku dilingkungan yang mayoritas, kemudian itu membentuk sikap dan mental yang subjektif dalam pola pikir dan tindakan (otokritik). setiap hari bertemu dengan pedagan di pasar, tukang ojek, tukang becak, tukang bakol, pemulung sampah dan semua orang yang mencari sesuap nasi hanya dengan mengandalkan kekuatan otot saja. bagi beta itu sesuatu hal yang wajar dan manusiawi, bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari mereka harus bekerja dengan OTOT untuk mendapatkan penghasilan, bahkan ketika masih sekolah kelas 2-3 beta juga berprofesi sebagai tukang becak, setelah pulang sekolah malmnya beta secara bergantian menarik becak milik salah seorang teman dengan tujuan yang sama mendapatkan penghasilan dengan menggunakan kekuatan otot, itu sepintas pengalaman dan penglihatan yang beta rasakan selama 25 tahun tinggal di Ambon.
             tanggal 6 juli 2011 beta menginjakan kaki d Kota Salatiga yang katanya kota beriman dan kota tertua kedua setelah kota jakarta, untuk belajar. dalam dinamika keseharian yang lebih majemuk, baik lingkungan tempat tinggal dan kehidupan sosial ekonomi merupakan realitas hidup yang baru yang beta rasakan. namun dalam keseharian itu hal yang sama yang beta temukan juga adalah bertemu dengan tukang becak, tukang ojek, pedagan dipasar, pemulung, tetapi hal barunya adalah ada delman di salatiga tetapi tidak ada di ambon., "heheeee" dan mereka semua melakukan aktifitasnya masing-masing dengan tujuan yang sama yaitu mencari penghalisan bagi kebutuhan sehari-hari hanya dengan menggunakan kekuatan Otot.
             dari gambaran singkat tentang dua realitas kehidupan yang beta alami di dua tempat yang berbeda ini, ada sesuatu hal yang menarik yang beta jumpai di kota salatiga ini,. suatu ketika setelah pulang kuliah beta berjalan di Jl. Diponegoro, di persimpangan jalan ini tepatnya di pinggiran tugu pangeran diponegoro ada sebuah pangkalan becak disitu. ketika beta melewati pangkalan becak tersebut, beta kaget dan heran melihat sesuatu yang sebelumnya dalam pengalaman hidup beta belum pernah beta melihat hal tersebut. dalam beberapa menit b berdiri dan terus melihat keadaan itu sambil tetap terheran-heran, kemudian beta mendekat dan meminta ijin dari seoran bapak untuk memotret beliau, dan apa yang beta liat dan kaget serta memotret itu adalah "seorang tukang becak yang sementara duduk didalam becaknya menunggu penumpang sambil membaca koran terbitan hari itu"  hal ini mungkin bagi sebagian orang merupakan hal yang biasa-biasa saja, tapi bagi beta ini adalah sesuatu hal yang luar biasa bagi seseorang yang berprofesi tukang becak, hal ini juga mematahkan hipotesis beta tentang seseorang yang berprofesi tukang becak dan lainya itu hanya mencari penghasilan sehari-hari hanya menggunakan kekuatan OTOT saja tanpa ada sikap yang ingin mengupdate dan menbuka wawasan berpikir lewat koran misalnya yang dibaca oleh situkang becak tadi.
realitas ini membuat beta sadar bahwa manusia yang ingin mengembangkan wawasan berpikirnya tidak terbatas dan dibatasi oleh profesi pekerjaan apa yang dia lakukan, itu terbuksi dari si tukan becak tadi yang katanya dikategorikan "Kaum Pinggiran". mungkin ada yang berpikir ini hal yang wajar dan biasa-biasa saja, namun bagi beta ini hal yang luar biasa yang baru pernah beta liat disini dan tidak pernah beta liat di Ambon, entah mungkin ada tetapi beta belum pernah ketemu, tetapi selama 25 tahun hidup d ambon hal semacam ini blm pernah beta temui.
beta kemudian berpikir apakah ini karnah pengaruh budaya, atau karena tuntutan ekonomi, atau karena situasi sosial lingkungan tempat tinggal, atau karena sekedar iseng saja dan ingin membaca koran. tetapi beta sampai pada satu titik pemikiran bahwa mungkin ini karena situasi sosial dimana lingkungan tempat tinggal mereka diwarnai dengan dinamika pendidikan yang cukup maju dan karakter tersebut muncul dengan sendirinya. hal ini sejalan dengan pikiran "Aristoteles tentang konsep Etika; dia mengatakan bahwa, karakter yang dibentuk karena pendidikan, dan pendidikan itu sendiri bersumber dari masyarakat."  konsep ini bagi beta secara tidak sadar itu sudah dipraktekan oleh situkang becak tadi, bahwa walaupun dengan pendidikan yang paspasan namun karakternya terbentuk dari dinamika sosial lingkungan sekitar dimana dia tinggal.
realitas ini juga beta temukan ketika ada di kota yogyakarta, beta menemukan seorang tukang becak sedang membaca koran didalam becaknya di sebuah pangkalan becak di salah satu suduk kota yogyakarta. ini kemudian memperkuat asumsi beta sementara bahwa karakter ini terbentuk karena dinamika sosial sekitar mereka yang mempengaruhi wawasan mereka. bahkan ada yang lebih menarik di yogyakarta ada seoran tukang becak (mas Hary namanya) yang mahir mengoprasikan laptop dan mencari pelanggannya dengan jejaring sosial (facebook) bahkan dia juga telah menulis sebuah buku, dan fasih berbahasa inggris dan belanda (beta jadi maluhati lai...heheheee).

"idealisir kaum pinggiran memandang orang atau hal lebih indah (sempurna) dari yang sebenarnya" adalah sesuatu pembelajaran ilmu hidup yang beta dapat ketika melihat realitas ini ada. kiranya lebih banyak lagi tukang becak atau profesi lain yang menggunakan otok untuk bekerta dapat belajar dari situkang becak ini...... sukses untuk seluruh ukang becak, Tuhan Berkati dong samua.
ini sekilas catatan pengalaman hidup dan pembelajaran yang berarti yang beta terima di salatiga kota beriman, beta jua berharap tukang-tukang becak di Ambon jua bisa biking hal yang sama lai kaya cerita ini, kiranya dapat menginspirasi, MARI BANGUN MALUKU juga dari KAUM PINGGIRAN.... Tete Manis berkati.......MENA

  
"si tukang becak"

3 komentar:

  1. Bagus tulisannnya. Saya hendak menambahkan bahwa semangat mereka luar biasa. long life education.Sepanjang hidup manusia belajar. entah belajar untuk meningkatkan pemahaman tetapi juga kualitas kehidupannya. Belajar untuk menciptakan kesempatan maupun juga memanfaatkan kesempatan.kalau semua org sama seperti tukang becak yang meningkatkan kepekaan dan memanfaatkan informasi maka kualitas sumber daya manusia Indonesia akan semakin berkualitas.

    BalasHapus
  2. luar biasaa tulisannya...saya jadi kagum dengan para tukang becak yang rajin meng up to date berita2 terkini dengan membaca koran, dengan tulisan ini saya baru melihat sisi lain seorang tukang becak yang mungkin kita anggap sebelah mata, tapi ternyata mereka memiliki kelebihan lain yang tidak kita miliki(menguasai bahasa asing n menulis buku bahkan mencari pelanggan lewat situs jejaring sosial---mungkin kita masih kalah dalam soal ini)hehe...tulisan ini sangat inspiratif...mantap!!!

    BalasHapus