Oleh : Weslly Johannes
Tentang
Monumen Gong Perdamaian Dunia (World Peace Gong) yang bertempat di kota
Ambon - Maluku, saya punya cerita dan malam ini, baru sekali, saya
ingin menulis tentang satu peristiwa baik yang baru saja terjadi di situ
dan hal itu yang merubah kesan saya tentang monumen ini. Saya pernah
bersumpah untuk tidak menjejakkan kaki di tempat ini karena beberapa
sebab yang tidak perlu lagi saya sebutkan. Tapi mungkin hanya akan saya
singgung sedikit terkait peristiwa hari ini. Semoga tidak basi.
Saat bakudapa di depan pintu pagar Monumen Gong Perdamaian Dunia,
Bung Berry bilang begini : “Pada waktu gong ini dibangun, pemerintah
hanya bikin kulit tanpa isi”. Jadi, apa yang dibangun itu adalah monumen
yang tidak monumental.
Begini maksud saya, monumen itu bangunan atau tempat yang mempunyai
nilai sejarah yang penting, karena itu dipelihara dan dilindungi dan
saat berada di situ atau pun hanya sekedar memandangnya dari jauh akan
menimbulkan kesan peringatan pada sesuatu yang agung. Kesan peringatan
pada sesuatu – biasanya peristiwa, selain tokoh, waktu, dan tempat, di
dalamnya juga ada nilai-nilai – yang agung inilah yang dimaksud dengan
monumental.
Jadi, bangunan atau tempat baru boleh disebut monumen jika setiap
orang yang memandangnya atau berada di sekitarnya beroleh kesan yang
mendalam tentang sesuatu peristiwa di masa lampau yang bermakna. Nah, di
sinilah persoalan saya dan beberapa teman yang pernah bersumpah untuk
tidak menjejakkan kaki di tempat itu.
Saya belum menyebutnya monumen pada saat itu, karena memang saat
memandangnya, tidak menimbulkan kesan apa-apa selain protes keras pada
orang-orang yang berpikir bahwa damai itu serta merta akan terwujud saat
logam besar itu dipancang dan dibunyikan. Namun, syukurlah ! Lewat
undangan yang tidak terduga dari "abang" Morika, saya bisa berjumpa
dengan kawan-kawan dan dalam percakapan yang terjadi di depan pintu
pagar Monumen Gong Perdamaian Dunia sore tadi, saya menemukan maknanya
dalam kata-kata Bung Berry.
Dari percakapan itu, saya memahami bahwa pekerjaan hari ini (Suara
Damai dari Timur untuk Indonesia) dan pekerjaan-pekerjaan sebelumnya
yang dilakukan oleh anak-anak muda dari berbagai komunitas di kota Ambon
adalah pekerjaan memberi makna baru bagi sebentuk beton dan logam tanpa
makna itu. Percakapan dengan Bung Berry dan kawan-kawan di depan pintu
pagar Gong Perdamaian Dunia tadi memberi cukup alasan bagi saya untuk
melanggar sumpah dan untuk pertama kalinya menjejakkan kaki di sana.
Sudahlah ! Adalah lebih baik mulai melakukan kebaikan dari tempat
yang pernah saya sumpahi ini, daripada membiarkannya tidak bermakna bagi
diri sendiri. Ah, jadi ingat ada seorang dosen pernah bilang begini :
“Hidup adalah pekerjaan memberi makna pada setiap peristiwa”. Tanpa
makna, maka setiap peristiwa akan begitu saja berlalu.
Saat memasuki pelataran Gong Perdamaian Dunia, saya sedikit kaku
namun perlahan rasa itu hilang saat aksi damai yang dikemas dalam pentas
budaya bertajuk “Suara Damai dari Timur untuk Indonesia” dimulai, lalu
saya tenggelam dalam alunan musik dan lirik lagu sarat makna, mendengar
dan meresapi bait demi bait lalu teater lalu lagu dan akhirnya doa. Saat
hendak berdoa, saya jadi sadar bahwa sejak tadi serasa sedang
“sembahyang”.
‘Tuhan’ seakan-akan saya jumpai dalam lirik-lirik lagu, bait-bait
puisi, dan butir-butir resolusi yang berbisik lembut bahkan sesekali
berteriak dengan lantang untuk mengharuskan kita bergerak mewujudkan
damai dan menentang setiap tindak kekerasan atas nama agama atau atas
nama tuhan sekali pun, kapan saja, di mana saja.
Saya benar-benar merasakan energinya! Ini peristiwa monumental yang
merubah cara pandang saya terhadap tempat ini. Serentak, Monumen Gong
Perdamaian Dunia ini benar-benar jadi monumen. Monumen yang akan selalu
mengingatkan saya bahwa di sini kita yang berbeda-beda pernah bersumpah
untuk terus bergerak dalam satu semangat menuju satu arah "mewujudkan
damai dan menentang segala bentuk kekerasan atas nama agama bahkan atas
nama tuhan sekali pun". Saya sadar bahwa kadang jika sesuatu tidak
mungkin lagi dirubah (seperti gong itu), maka mungkin saya yang harus
berubah.
Begitu aksi damai itu selesai, saya memandang gong di atas sana
sambil berkata dalam hati : “Cukuplah! Kita sudahi pertengkaran ini
sampai di sini sebab kita sudah memulai sesuatu yang baik bersama-sama”.
Sembari berpamitan, saya melangkah keluar dengan damai dan setelah
selesai menulis dan membagikan tulisan ini saya akan beristirahat dengan
damai pula. Bukan mati, hanya istirahat!
Sebelum beristirahat... Ingat sumpah kita tadi dan jangan lupa berdoa...
Mungkin Kami butuh Cinta yang Banyak
– Sebait doa –
Dalam damai yang sepenggal aku meminta
Tuhan, sebelum Engkau mati tertikam pemberontakan manusia
Maka berikanlah kami cinta yang banyak
agar ada sisa untuk mencintai sesama
saat sudah habis semua cinta kami berikan pada diri sendiri, agama, sekeping kebenaran, dan keyakinan
dan tambahkan lagi sedikit cinta untuk kembali menemukanMu
sebab Engkau adalah cinta itu
Tuhan, mungkin kami butuh lebih banyak lagi cinta!
----------------------------------Tuhan, sebelum Engkau mati tertikam pemberontakan manusia
Maka berikanlah kami cinta yang banyak
agar ada sisa untuk mencintai sesama
saat sudah habis semua cinta kami berikan pada diri sendiri, agama, sekeping kebenaran, dan keyakinan
dan tambahkan lagi sedikit cinta untuk kembali menemukanMu
sebab Engkau adalah cinta itu
Tuhan, mungkin kami butuh lebih banyak lagi cinta!
Terima kasih buat MHC, Ambon Bergerak, Sageru, D’Embalz, Semang,
Bengkel Sastra Maluku, Bengkel Seni Embun, Opa Bing Leiwakabessy, Bung
Glenn Fredly, Bung Rence Alfons, Amadeus, Mara Christy, dan semua yang
tidak sempat disebut satu demi satu. Kita semua berbeda karenanya kita
masing-masing unik dan istimewa, tapi malam ini dan seterusnya kita
harus satu “Suara [kan] Damai dari Timur untuk Indonesia” kita yang
satu dalam beda. Lawamena !